Wajahnya yang masih saja datar, dengan bibir tipis sewarna ceri. Juga hidung kecil dan alis yang tercetak rapi. Tidak lupa mata berwarna coklat gelap yang dihiasi bulu mata lentik miliknya, dengan kata lain, Calya adalah cantik yang begitu sederhana, namun juga memberikan kesan dingin yang mungkin untuk beberapa orang terlalu galak dan susah untuk didekati.
Januar kembali memanaskan masakan yang sempat Mami tinggalkan di dalam kulkas. Ia sibuk dengan urusannya mempersiapkan makan malam untuk dirinya dan Calya.
Januar sempat mengira bahwa kedatangan orang lain selain teman-teman di apartemennya akan terasa aneh. Betapa terkejutnya Januar kala mendapati dirinya yang tidak merasa asing meskipun Calya yang kini sedang berjalan memperhatikan ruang tamu miliknya.
"Calya! Sini..." Januar memanggil Calya dari arah dapur. Ia mengambil dua piring dan juga sendok dari rak. Mengulurkan salah satunya ke arah Calya. Gadis itu menerimanya dalam diam, kemudian mendudukkan diri di seberang Januar.
"Kamu mau minum air apa susu coklat?" Januar bertanya sembari membuka kulkas yang tingginya melebihi tubuhnya sendiri.
"Saya baru tahu kamu suka susu coklat." Calya berkata dengan alis terangkat.
Januar mengedikkan bahu sembari meraih sekotak susu coklat cair dari dalam kulkas, tangannya meraih gelas dan menuangkan isinya. "Saya nggak suka, tapi saya liat kamu suka susu coklat, jadi ya..."
Januar membiarkan jawabannya mengapung di udara. Ia hampir tertawa kala melihat Calya yang berusaha menyembunyikan pipinya yang memerah.
"Kamu nggak perlu repot-repot, kok."
Januar menghela nafas, menatap Calya dari tempatnya berdiri. "Saya nggak merasa repot, Calya. Nih," dan mengangsurkan gelas berisi susu coklat dingin itu ke arah Calya.
"Makasih," ucap gadis itu pendek, yang hanya dibalas anggukan oleh Januar.
Keduanya menikmati makan malam dalam diam. Hanya suara dentingan sendok yang beradu dengan piring mengisi kesunyian ruangan. Januar membiarkan Calya melahap makanannya sembari menunduk. Berbeda dengan dirinya yang sesekali melempar pandangan ke arah gadis itu.
Calya makan dengan tenang dan rapi. Tidak ada sisa makanan yang menyiprat atau berantakan.
Ia berdehem, berusaha menarik perhatian gadis itu.
Melihat bahwa isi piring mereka tersisa beberapa suap, Januar baru membuka obrolan.
"Calya," ia memulai.
"Januar." Gadis itu membalas masih dengan ekspresi datar. "Bisa kasih tau saya kenapa kamu ngajakin saya ke sini? Saya yakin bukan cuma buat ngajak saya makan malam, kan?"
Januar menggeleng, "kamu benar, Calya. Nggak ada orang yang berbuat baik tanpa mengharap balasan orang lain."
"Jadi?"
Di tempatnya, Januar menimang sebentar. "Saya mau bicara sama kamu. Tapi sebelum selesai, jangan potong dulu, ya?"
Meski sedikit ragu, Calya memilih untuk mengangguk. Menunggu apa hal yang sekiranya ingin Januar sampaikan sampai ia harus bersikap segugup itu.
•••
Januar memberhentikan mobilnya di depan pelataran rumah Calya. Tampak rumah itu sudah gelap. Lampu ruang tamu sudah dimatikan, dan Calya juga yakin bahwa adiknya sudah tertidur.
Calya tidak segera keluar dari mobil, dan Januar juga tidak mendesak gadis itu untuk segera masuk ke dalam rumah. Pipi Calya masih terasa hangat dan entah kenapa ia jadi merasa malu untuk sekedar menatap ke arah Januar.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐑𝐨𝐬𝐞𝐬 & 𝐖𝐢𝐧𝐞
General Fiction[he fell first, he fell helplessly harder] Ini tentang dia, perempuan berusia 22 tahun yang dipaksa oleh dunia untuk menjadi kuat. Bahwa ia tidak boleh kalah dan jatuh terlalu lama. Menuntutnya mengerti bahwa dunia ini tidak akan berpihak meski ia t...
#10
Mulai dari awal