"Aku kira juga begitu awalnya," Bathara membisikan tawa, "tapi kamu dekat, ya, Nak, sama orang-orang ini?"
"Banyak yang nggak tahu, Ra. Rama pernah bilang, kalau sebenarnya kehidupan kami di istana hanya lima persen. Sisanya, ya kami hidup di masyarakat." Nakula tertawa singkat, "tentunya aku nggak seterkenal Mas Junanda. Jadi aku lebih leluasa."
"Jadi, rencana kita untuk jadi pasangan alien tetap bisa dieksekusi?"
Nakula menatap orang di sampingnya yang ikut menyungingkan tawa. Ia lantas membayangkan bagaimana suatu hari kelak, jika ia bisa menghabiskan semua waktu, dari fajar hingga petang, untuk mendengarkan pertanyaan-pertanyaan atau celoteh lucu milik Bathara. Atas pertanyaan Bathara, satu jawabannya. Asalkan dengannya, ia pasti bisa.
Bathara memandangi garis batas dunia yang perlahan-lahan berubah gradasinya menjadi warna biru. Satu lampu senthir hadir di tengah-tengah mereka. Udara yang temperaturnya pelan-pelan turun membuat Bathara sedikit bergidik, sebelum pada akhirnya Nakula mengeratkan jarak di antara mereka.
"Kamu siap, Ra? Perkawinan kita?"
Bathara tersenyum tipis, "Itu pertanyaan, Na?"
Nakula mengangguk, "Iya...."
"Iya."
Satu kalimat barusan yang keluar dari kedua mulut Bathara seolah membuat waktu milik Nakula membeku. Ia seolah tuli, seolah Bathara berbicara dengan bahasa yang sulit dimengerti hingga ia harus meminta verifikasi.
"Apa, Ra? Kamu bilang apa tadi?" Nakula mengoyangkan bahu Bathara, "Ayo coba diulang lagi, Ra?"
"Nggak ada pengulangan." Bathara menutup kedua mulutnya, membiarkan Nakula dengan raut muka merajuk yang jarang ia lihat. "Aku mau jalan-jalan aja." Kedua tungkai kaki Bathara lantas berdiri. Meninggalkan Nakula yang masih terbengong, kemudian dengan tergesa lantas mengikutinya.
"Aku anggap itu sebagai iya," Nakula menyusul berjalan bersisian dengan Bathara, menggapai jari-jari kurus milik Bathara dan mengenggamnya erat. "Kalaupun jawabanya berbeda, diterima. Tapi, pada akhirnya kita akan sama-sama."
Senyum itu merekah pada paras milik Bathara. Di antara remang malam dan kendaraan yang berlalu lalang, Bathara seolah menjadi satu-satunya yang menarik atensinya. Menjadi orang yang paling indah pada malam itu di mata Nakula.
"Nanti, upacaranya dimulai dari kamu harus nyantri dulu, Ra. Kamu harus belajar unggah-ungguh istana, tata cara upacara, dan kamu harus menyesuaikan kehidupan di dalam keraton. Termasuk bahasa Jawa yang dipakai di Istana. Kamu juga harus diangkat sebagai abdi dalem istana dulu, kamu juga belajar tari-tariannya."
Bathara hanya menyimak sambil terus berjalan, ada tawa hadir di antara sela-sela Nakula bercerita.
"Kalau kemarin, Mas Junanda bisa sampai seminggu penuh. Tapi, sepertinya kalau aku bisa dipersingkat cuma jadi tiga hari. Lagipula aku anak bungsu. Lalu, setelah kamu nyantri dan tinggal di dalam istana, kita juga nggak mungkin ada kirab mubeng beteng seperti Mas Junanda dulu. Resepsinya bisa di kepatihan, akan ada Bedhaya Manten sama Beksan Turnojoyo."
"Na..."
"Lalu nanti mungkin juga ada lima kereta yang ikut sama kita, ada dua puluh enam kuda dari istal, mungkin juga kita naik kereta Jongwiyat."
"Na..."
"Ada juga dua bergodo atau pasukan yang disiapin, kamu nggak pernah lihat pasukan ini, kan, Ra? Kebanyakan mereka cuma keluar kalau ada upacara tertentu aja. Ada bergodo wirabraja sama ketanggung."
"Gusti Raden Mas Nakula."
"Hah, iya, apa?"
"Memangnya aku sudah bilang 'iya'"?
"Lah, tadi?"
Bathara menggeleng, kemudian bibirnya menyemburkan tawa, "kamu cerewet banget, aku jadi mikir-mikir lagi, nih."
"Hah, gimana?" Bathara justru berlalu pergi dengan tawa yang masih terdengar, "Ra?" Nakula kembali mengikuti langkah Bathara dengan tergesa, "Ra?"
"Aku baru tahu kamu ternyata banyak ngomong."
'"Raaaaa..."
"Berisikkk."
—
"Tanggalnya sudah dipilih, Bathara." Alphard Keluarga Suryodiputran melintasi macetnya titik nol kilometer, baru saja keluar dari wilayah beteng luar istana. "Bapak mau bertanya denganmu. Bathara, apa memang kamu siap? Katakan pada Bapak jika memang kamu siap."
Bathara terdiam di kursi penumpang, mengalihkan perhatian pada deretan lampu yang berlalu ketika mobil ini melaju perlahan.
"Nak, Bathara?"
"Aku kira Bapak ndak perduli dengan semua ini."
"Jelas Bapak peduli." Bapak menggapai tangan milik Bathara, "anak semata wayang bapak, jelas bapak peduli."
Setengah mati Bathara berusaha untuk abai, berusaha untuk terlihat tak luluh dengan rayuannya. Namun, genggaman tangan milik Bapak mengerat, menghangat.
"Mana mungkin bapak tak peduli, Bathara." Bapak mengelus permukaan tangan Bathara dengan ibu jari miliknya, "Kamu satu-satunya yang paling berarti bagi Bapak."
Bathara luluh, dengan kedua mata yang mulai memerah, di penghujung malam menunju minggu, ia memilih mendekap orang tua satu-satunya itu. Menghirup bau kolon yang tak ia sangka masih sama seperti dulu.
"Bapak sendiri yang memilih Nakula untukmu, Bathara. Bukan tanpa sebab. Karena Bapak melihat diri bapak pada Nakula. Dari tatapannya kali pertama, dan perlakuannya. Bapak melihat bagaimana Nakula merawatmu, dan kalian saling melengkapi. Nakula membuat kamu bahagia, Bathara. Dari hati terdalam, Bapak merestui kalian."
Di bahu bidang milik ayahnya, Bathara menemukan tenang. Ia kembali teringat pada masa-masa kecil dulu. Dua putaran, dengan Bathara di bahu, mengelilingi embung Tambakboyo. Dua jatah es krim coklat potong setiap minggunya. Dua jam setiap harinya yang disisihkan Bapak untuk ikut memandang bintang atau bermain boneka bayangan.
Tapi, lambat laun kehadiran Bapak semakin hilang. Semenjak kematian Ibu, Bapak mulai tenggelam dalam pekerjaannya, larut dalam rutinitasnya sendiri. Bathara tak tahu pasti titik di mana hubungan mereka kemudian lantas hambar dan nyaris mati. Tahun-tahun berlanjut tanpa henti. Dan, Bathara pikir begitulah pola hidup manusia. Ada satu titik di mana Bathara pun juga tak lagi menyambut Bapak tiap kembali.
"Bathara siap, Pak. Mungkin nanti bisa jadi tak sesuai yang Bathara kira. Tapi, kali ini, Bathara yakin dengan apa yang Bathara lakukan sekarang."
Ia tersadar, Bapak tak pernah pergi.
Ia sendiri yang mencoba untuk menyingkir.
"Syukurlah." Bapak menghela napas lega, memberikan kecupan lembut di dahi milik Bathara. "Ada banyak yang harus disiapkan."
*: Plengkung Tarunasura juga dikenal dengan Plengkung Wijilan. Sebenarnya plengkung ini merupakan bagian dari benteng yang ada di Jogjakarta. Benteng ini terdiri dari lima gerbang atau plengkung, dan kini hanya tersisa dua plengkung. Plengkung Tarunasura yang biasa disebut dengan plengkung wijilan, dan juga Plengkung Nirbaya atau biasa disebut dengan plengkung gading. Plengkung lainnya, seperti Madyasura, sudah ditutup sejak penyerangan Tentara Inggris pada 1812. Sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Bowono VIII ini pula plengkung tidak pernah lagi ditutup. Bahkan demi memperlancar lalu lintas, Plengkung Jagasura dan Plengkung Jagabaya dirombak menjadi gapura terbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gotta Be You - Jaemren
RomanceSurat-surat tak pernah diterima, jarak yang membentang, dan seberkas cahaya senja yang rebah di cakrawala. Bagi Bathara, hidup harus berjalan sebagaimana mestinya: meskipun kehilangan orang yang paling dicintai memang tak memiliki penawar. Ia menge...
Plengkung Wijilan
Mulai dari awal