BAB LII Andhange Teko (Sandaranku tiba)

Mulai dari awal
                                    

Di depan sana Anang memimpin, mata tajam membara. Aura pembataian dalam dirinya telah aktif jika dihadapkan dalam situasi peperangan. Tidak ada jiwa jenaka Anang seakan dirinya tak memiliki itu. Kini hanya ada kata kematian dan pembataian.

Pedang Anang mudah menebas leher dua prajurit hitam didepannya sekaligus. Kawan Anang dibelakang melempar pedangnya tepat mengenai dada pemberontak diam-diam menyerang titik buta Anang. Aksi kawannya cepat Anang sadari, lekas menedang pemberontak itu sambil menarik pedang milik kawannya lalu menusuk ke lawan disamping kanan dan melemarnya pada pemiliknya kembali. Jangan salah mereka anggota Bhayangkara. Pasukan elit Majapahit. Pasukan pemberontak rendah seperti mereka hal kecil. Sekecil ujung kuku.

Anang terus maju melibas satu persatu. Ada wajah lain dikenalnya. Blegur. Rupanya dia masih hidup?

"Sial!" umpat Blegur berhasil selamat. Kipas semlehoynya berhasil menangkis puluhan panah.

Keadaan ini tidak mengutungkan. Rencanaku akan gagal. Saya harus pergi dari sini, atau akan kehilangan perempuan itu, dalam hati Blegur melawan Prajurit Majapahit yang kekuatannya tak sebading.

"Kau bukan Bhayangkara," Blegur berdecih tersenyum miring.

Tidak semua prajurit ini anggota Bhayangkara, berarti ada pasukan lain bersembunyi dibalik tebing. Blegur melakukan jurus andalannya mengerahkan kanuragan mengakhiri tiga cunguk busuk sekaligus sembari membaca situasi semua manusia ini tengah sibuk dengan pertarungan mereka sendiri.

Ini kesempatanku!

"Wasem! Pengecut Licik!" geram Drabha menangkap pergerakan Blegur siap melarikan diri.

Drabha hendak menghadang Blegur itu langsung disambut pukulan tangan Rengga yang langsung diladeninya. Walaupun terus melawan matanya tetap melirik pergerakan Blegur. Mata kanannya juga mengawasi Anang.

"Pilih mati bareng (bersama) atau berserikat?" tawar Drabha tersenyum miring melihat sorot pesimis Rengga melirik ke belakang membaca situasi. Pasukan hitam tuannya tewas bergelimpungan dan posisi mereka terkempung sekarang.

"MANDEEEK (BERHENTI)! MENYERAHLAH!"

Anang berteriak menggenggam erat pedangnya. Dua lelaki itu tidak berhenti untuk saling menyabetkan pedangnya. Pasukan pemanah telah turun mengarahkan anak panahnya terkhusus pada seorang mantan Bhayangkara—Drabha. Tanpa kecuali Rengga, lawan duel Drabha sekarang ini. Mengepung posisi mereka, di sebelah kanannya terdapat jurang tak ada celah melarikan diri.

"Baiklah, berserikat. Kita selesaikan untuk kita nanti," setuju Rengga menatap mata Drabha mencari kebohongan didalamnya.

Perlahan pedang Rengga turun dan tubuhnya berbalik. Disaat itu pula Drabha menggunakan sisa tenaganya untuk menyayat leher lelaki itu yang seketika jatuh tersungkur dihadapannya. Darah terciprat ke wajahnya.

"Tangkap pemberontak ini!"

Anang mengeratkan genggaman pedang mengucapkan kalimat itu. Mata memerah, otot di leher menonjol menunjukkan betapa marahnya sekarang ini. Membuang jauh tali persahabatan mereka walau batinnya meraung ingin menarik tangan sebagai kawan bukan tawanan. Pulang dan bergurau bersama.

"Biarkan saya pergi."

Anang mendengkus, lalu tertawa hambar. "Kau tak merasa bersalah pada tanah kelahiranmu? Saya kecewa pernah mengenalmu. Tangkap dia!"

"To-long biarkan sa-ya pergi, Nang," lirihnya dan terbata. Napasnya naik-turun menatap pasrah sahabatnya itu. Mungkin lebih pada memelas.

"Jangan sebut namaku dengan mulut kotormu! TANGKAP DIA!"

JAMANIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang