"Apa mas harus menjadi pria hidung belang dulu supaya mas bisa memiliki kamu?" Pria itu mengeluarkan sarkas. "Apa mas harus berbuat dosa dulu supaya enggak satu pun dari mereka bisa menyentuh kamu, Anjani?" Abian kembali menguarkan sarkas dengan alunan mendayu. Tatapannya menusuk, tapi masih tampak teduh.
Sementara Anjani hanya mampu menemukan luka pada netra pria itu. Gurat putus asa Abian masih sama seperti pertama kali mereka bertemu setelah sekian tahun.
Tatapan teduh itu makin mengikat. "Apa mas harus menyewa pelacurku supaya kamu sudi jadi ibu dari anak-anak mas?"
Ucapan lembut pria itu menohoknya, menjadikan hati tak berbentuk makin tak berbentuk. Ia benar-benar tak mampu lagi mencerna ucapan Abian malam ini. "Mas, Mas Bian mabuk?"
Pria itu mengangguk santai. "Ya, mabuk karena kamu."
Tanpa sadar, Anjani telah mendarat di meja ruangan ini karena Abian angkat.
"Nikah sama mas, Anjani."
Sebanyak apa pun sang pria meminta, maka sebanyak itu pula Anjani menggeleng. Ia sadar bahwa Abian sedang berhalusinasi. "Aku enggak bisa. Mas udah punya istri dan aku enggak akan mampu ngerusak rumah orang lain." Ia terkesiap ketika Abian memangkas jarak mereka.
Malam ini, bibir Abian mengisap seluruh harga diri Anjani, menjadikan wanita itu insan paling menjijikan di dunia. Mengapa Tuhan begitu jahat, memposisikan mereka pada kepahitan?
Ketika menemukan luka dan lebam pada tubuh wanita itu, Abian ingin mengamuk pada takdir. Ia mengutuk dosa dan diri sendiri karena tak rela. Ke mana jiwa lugu Anjani?
Sementara hati Anjani hanya mampu menjerit ketika Abian tiba-tiba sesenggukan. Kini, kulitnya basah karena air mata. "Mas ...." Kucuran air matanya pun ikut deras.
Merasa dipanggil, pria itu menyorot netra Anjani lamat dalam kehancuran. Banyak sekali kekhawatiran dan keresahan yang ia pikirkan malam ini, untuk esok, seterusnya, berlebih jika Anjani masih menjadi pelacur. "Anjani, mas benar-benar enggak bisa ngelepas kamu." Suaranya bergetar. "Mas takut." Ia menggeleng.
"Mas—"
"Kalau nikah sama kamu bisa menjadikan mas berhak atas seluruh hidup kamu, mas akan memohon untuk itu." Kali ini, pria itu memohon dengan getaran. "Tolong ...."
Anjani menggeleng sebelum diangkat menuju ranjang.
Harus sejauh apa Abian berbuat agar wanita itu sadar?
Menahan kemunafikan, Abian mendekatkan bibir di telinga wanita itu. "Mas mau kamu seutuhnya, malam ini. Anggap aja mas ini benar-benar pelanggan sialan kamu itu," sarkasnya.
Sesenggukan Anjani pun mulai menggema. "Kalau raga, silakan. Dan tanggung sendiri dosa yang akan mas dapat. Kalau jiwa, aku enggak bisa ...."
Abian menyangga tubuhnya dengan lengan, mengungkung Anjani dan memberi wanita itu tatapan menuntut. "Karena kamu kotor dan enggak pantas hidup sama mas?" Bibir tipis itu tersenyum sinis. Abian menarik jemarinya, membentuk lukisan abtrak pada pipi pualam Anjani. "Karena mas udah punya Alanis?"
"Mas, sadar! Sampai mana pun Mas Bian mencari titik kebenaran, aku enggak akan pantas hidup sama Mas!" Ia menepuk-nepuk pipi Abian.
Pria itu tertawa sumbang. "Kamu mau tahu seberapa berengseknya mas yang sudi menyewa dan meniduri kamu di tengah kondisi Alanis serta hubungan pernikahan kami?"
Bibir dan lidah Anjani kelu. Netranya mencari pembenaran sebelum menggeleng.
"Apa bedanya kita, Sayang?" Tawa perih Abian menggema. "Mas adalah pria hidung belang yang sudi menggunakan jasa pelacurnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Tanpa Rumah
Romance⚠ Bijaklah Memilih Bacaan! Senja menjijikan itu telah mengukir sejarah kelam di mana Anjani kehilangan sang ibu untuk selamanya. Bukan karena kematian, melainkan pengkhianatan yang menjadi sumber penderitaan dan trauma. Sanggupkah Anjani melanjutka...
30. Sukacita Itu Duka
Mulai dari awal