Mendengar itu, Tini pun semakin bingung mengambil keputusan. Pikirannya seperti linglung, sebab sedari tadi sesuatu mengganggu fokusnya.

Entah apa itu, yang dirasakan Tini adalah hawa panas menjalar dengan sangat perlahan dari tengkuk menuruni tulang punggungnya, dan kini berhenti di sekitar tulang ekor.

Padahal udara sedang dingin dan tidak ada siapapun di belakangnya. Lalu bagaimana hawa hangat itu terus berputar-putar di sekitar bokongnya, membuat perempuan tidak tinggi itu meremang di sekujur tubuhnya.

Tini pun sedikit melirik ke belakang dan masih tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada angin dingin berembus dari pintu ganda rumah itu yang dibuka lebar-lebar, menggerak-gerakkan surai lurus sepunggung yang dibiarkan tergerai, namun ganjilnya, udara hangat itu masih ada di belakang punggungnya, begitu kontras dengan hawa dingin yang semakin menusuk.

Rasa-rasanya ia ingin berlari dari tempat itu, namun mengingat tak sebutir pun beras tersisa di gubuk ibunya, Tini tak punya pilihan.

Lalu sang majikan yang memekik memanggilnya membuat Tini tersentak. Tak biasanya perempuan kaya itu diabaikan.

"I-iya, Nyonya ...!"

Tini pun tergopoh setengah berlari ke arah majikannya yang telah sepuluh langkah jauhnya.

"Jangan lari-lari di rumah saya! Tidak punya toto kromo kamu, Tini." Sang majikan kembali jengkel dengan tingkah pembantu barunya.

"Ngapunten, Nyonyah ...!" Tini memohon ampun dengan membungkukkan badan.

Tini yang membungkuk kemudian menjadi bingung saat majikannya itu tak bersuara lagi. Sementara pandangannya yang menghadap bawah hanya mendapati perempuan berbalut kain jarik cokelat itu masih berdiri di hadapannya.

1 menit.

2 menit berlalu.

Majikannya itu masih berdiam. Tini yang sedari tadi memperhatikan kain jarik dengan motif huruf s saling menyambung miring membentuk garis pada kain putih itu kemudian mencoba menaikkan pandangannya, penasaran mengapa majikannya menjadi diam.

Di saat itu Tini mendapati majikannya mengangguk sembari memandang ke arah belakang Tini, seakan-akan ada seorang yang sedang mengajaknya berbicara.

Ekspresinya yang begitu halus tersenyum layaknya seorang perempuan kalangan atas yang penuh kharisma, benar-benar membuat Tini terpukau.

"Lihat apa kamu!" sentak sang majikan yang menyadari sedang diperhatikan, membuat Tini cepat-cepat menunduk lagi. "Sudah bodo, lelet dan sekarang ... benar-benar kamu tidak punya sopan santun. Apa begitu caranya berhadapan dengan majikan? Wajah kamu dengan wajah saya sampai sejajar! Kemarin-kemarin kamu kerja di mana? Paling kamu kena pecat karena kelancangan kamu."

"Ngapunten Nyonya ...! Saya tidak dipecat, tapi Pak Haji sedang berhenti produksi karena minyak tanah naik dari tujuh ratus per liter jadi seribu dua ratus katanya."

"Ya itu karena Pak Haji nyari-nyari alasan biar bisa pecat kamu! Sudah, ayo cepat ikut saya. Habis waktu saya cuma ngurusin kamu!"

Lalu sang majikan buru-buru berbalik dan menyusuri koridor rumah yang tampak gelap karena penerangan tak dinyalakan di beberapa bagian.

Dinding kayu berpelitur cokelat di sepanjang lorong semakin menambah kesan mengerikan karena dipenuhi bingkai lukisan para ningrat berwajah tak ramah.

"Jalan kamu berisik, Tini ...!!"

Sang majikan tiba-tiba berhenti dan membalik badan, membuat Tini yang sedari tadi berjalan dengan mengamati bingkai-bingkai berbentuk oval emas itu hampir menabrak majikannya.

Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi GaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang