19. Hanya di Hari Minggu

Mulai dari awal
                                    

"Nggak, Tan. Saya tinggal sendiri," jawab Magenta seadanya. Mendengar itu Lina melotot terkejut. 

"Astaga, kok bisa kamu ditinggal gitu? Laras nggak mikir ta? Sekarang ini kamu kerja jangan-jangan karena gak dinafkahi Laras? Iya, Nak?!" Lina menghujani Magenta dengan pertanyaan yang di luar prediksinya. Magenta lupa jika wanita ini sangat ceplas-ceplos dan gemar bicara tanpa menyaring kata-kata. Jujur, Magenta tidak tahu harus memberikan jawaban seperti apa, karena memang semua ucapan Lina itu benar. 

"Gi- eh, gimana ya Te. Jadi, emm," gugup Magenta. 

"Magenta sudah aman sama saya. Nggak perlu khawatir," sahut Elisa secara tiba-tiba. Lina hanya mengangguk paham. Karena ponselnya yang berkali-kali berdering, dia sadar ada hal lain yang harus dilakukan. 

"Ya sudah, saya pergi dulu ya. Magenta sehat-sehat ya," ujar Lina yang kemudian meninggalkan toko. 

Entah kenapa rasanya sangat sesak, padahal Lina tak berbuat apa-apa. Lina hanya membicarakan fakta. Secara frontal, Magenta memang terlantar. 

"Jangan didengarkan. Selagi Magenta makan cukup dan tidur nyenyak, maka semua akan baik-baik saja," tutur Elisa sambil mengusap puncak kepala Magenta. 

Magenta mengangguk dan tersenyum tipis walau matanya sudah berkaca-kaca. 

"Kalau capek, Magenta boleh istirahat," ujar Elisa. 

"Magenta nggak capek kok, Tan," jawab Magenta. Bagaimanapun juga, dia tidak ingin makan gaji buta. 

Percakapan Magenta dan Elisa terhenti saat lonceng berbunyi, tanda seorang pelanggan datang. Sekarang masih pukul 10, tapi Biru sudah mengunjungi toko.  Elisa sadar tentang tatapan Magenta pada Biru, dia tersenyum kecil lalu meninggalkan dua remaja itu. 

Biru berdiri di depan Magenta, masih dengan senyumnya. "Aku nggak punya alasan buat ngobrol banyak sama kamu, karena duri mawarnya udah dibersihkan semua," ujar Magenta dengan wajah memelas. 

"Tapi, kamu mau dengar ceritaku meski tanpa alasan?" tanya Magenta. Di luar perkiraan, Biru mengangguk tanda setuju. Cepat-cepat Magenta Menarik Biru ke kursi dekat jendela. Area yang sama seperti kemarin saat Magenta bercerita banyak ke Biru. 

Magenta menghela napas, lalu mengembuskan pelan. Dia mengatur emosi supaya tidak menangis di hadapan Biru. 

"Biru, kita ini asing ya? Tapi aku nyaman banget cerita ke kamu," celoteh Magenta. 

"Hari ini kata tante Elisa, aku bakal baik-baik aja kalau makan cukup dan tidur nyenyak. Sejujurnya aku udah makan cukup, tapi setiap malam aku hampir nggak pernah tidur nyenyak," ujar Magenta. 

"Kamu tahu, Biru? Waktu kecil, aku berharap bisa mimpi indah setiap malam. Jadi Ratu, jadi tuan putri, jadi peri, atau bahkan tinggal di negeri dongeng. Tapi sekarang, aku cuman pengen tidur nyenyak. Aku pengen terlelap tanpa bangun mendadak di tengah malam karena takut masalah datang. Aku penakut, Biru. Aku takut semuanya lebih berantakan dari yang aku bayangkan. Tentang keluarga, semuanya hancur, bahkan kakak yang paling aku sayang, nggak percaya lagi sama aku,"

"Biru, kita masih asing ya? Aku tahu. Maaf udah lancang ajak berteman. Tapi, kamu harus tahu kalau aku mau jadi temanmu. Aku mau selalu didengar kayak gini." Magenta frustrasi.  

"Ada banyak tatanan yang gak bisa aku hadapi. Ada banyak cerita yang gak bisa aku pendam. Rasanya hidupku ditekan, padahal katanya aku cuman butuh sabar, tapi aku nggak bisa. Bahkan, mencintai diri sendiri aja rasanya sulit. Apa yang perlu aku cintai dari diriku sendiri? Aku nggak tahu harus mulai dari mana,"

"Suatu hari aku pernah nanya ke diri sendiri. Bisa nggak jalani semuanya? Aku nggak nemuin jawabannya. Aku nggak tahu dengan cara apa lagi aku bisa menerima kehidupanku yang sekarang. Aku jauh dari pendidikan, masa bodoh dengan cita-cita. Aku cuman mikir yang penting dapat uang. Aku takut nggak punya masa depan." Magenta tak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Dia menundukkan kepala karena tak sanggup menopang tubuhnya lagi.

Biru menggenggam tangan Magenta, hal itu membuat Magenta mengangkat kepalanya. Biru menyodorkan sebuah kertas. 

"Maaf karena tidak bisa bicara," tulis Biru. Hal itu membuat Magenta menggeleng tak setuju. 

Magenta mengusap air mata di pipinya. Dia menarik napas panjang untuk bersiap bicara.

"Biru, tak apa jika tak sempurna. Tidak ada manusia sempurna di dunia ini. Apabila terlihat ada, hidup mereka pasti terasa sulit karena sibuk menutupi kekurangan itu," tutur Magenta. 

"Kamu istimewa dan kamu berharga. Aku pengen berteman sama kamu, bukan cuman di hari Minggu tapi di hari-hari yang lain, apa boleh?" tanya Magenta. Tak ada jawaban dari Biru. Senyumnya juga hilang terganti dengan wajah terkejut. Melihat itu, Magenta menunduk, lalu beranjak dari duduk. Dia menyiapkan pesanan Biru selama kurang lebih 15 menit. Lalu memberikan pada Biru dari kasir. 

Pria itu pergi, masih dengan wajah tanpa senyum tapi juga bukan ekspresi dingin seperti biasanya. Magenta menghampiri meja yang tadi sempat mereka gunakan sebagai tempat bercerita. Di atas sana terdapat dompet dan secarik kertas berisi tulisan tangan. 

Magenta duduk dan membaca sebuah kertas bertuliskan,

Untuk Magenta. Gadis yang suka bercerita. 

Aku berdoa supaya kamu tidur nyenyak malam ini. Jika ini tentang masalah kehidupan, maka aku tak bisa bereaksi banyak karena hidup memang tentang masalah. Aku punya kesimpulan perihal hidupku, bahwa hidupku memiliki presentase 25% bahagia dan 75% kesedihan. Tapi semoga itu hanya hidupku. Aku berharap kamu memiliki presentase 75% bahagia dan 25% kesedihan.

Magenta, tentang tawaran berteman, apa yang kamu harapkan dari pria cacat yang tak pernah dianggap ada? Aku sudah terbiasa dengan 'sendiri'. Aku tidak ingin berteman, karena aku sadar aku merepotkan. Aku takut kamu menyesal berteman denganku. 

Lagi-lagi ini tentang terbiasa. Aku sudah terbiasa dengan sebutan tak diharapkan, dengan cacian buruk lewat mulut manusia, bahkan dengan kekuatan fisik yang menyakitkan. Setelah sekian lama, akhirnya ada yang menyebutku berharga dan istimewa. Aku sangat berterima kasih tentang itu.

Terima kasih karena sudah bercerita hari ini. Semoga selalu diberi kebahagiaan. 

Magenta kembali menangis. Magenta ingin egois. Dia ingin selalu menjadi teman Biru setiap hari, tak perlu menanti Minggu untuk bertemu Biru versi yang menangkan.

"Kenapa harus menanti hari Minggu untuk bisa berteman, Biru?"

-
-
-
Hai semuanya! Lambat laun cerita ini akan berporos pada Xabiru. Selamat tenggelam dalam kisah Biru, yang diawali oleh bahagia dan disusul oleh keputusasaan. 

Alunan Sajak XabiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang