"Bian! Aku mohon buka pintunya! Kalo kamu nggak mau buka, aku bakal terus di sini sampai besok dan besoknya lagi sampai kamu mau ketemu dan bicara sama aku! Aku mau minta maaf, Bian! Aku masih butuh kamu! Aku masih perlu kamu!"
Butuh? Perlu?
Bian tertawa sumbang. Tawa yang penuh sarkasme pada dirinya sendiri.
Oh, jadi selama ini dia dimanfaatkan semudah itu?
Bian bangkit berdiri. Kesabarannya cepat sekali habis. Jangan mengeluhkan tentang kesabaran pada pria satu ini yang sabarnya hanya setipis kertas.
Bian dengan celana selutut dan kemeja lengan pendek menyambar kunci mobil di atas meja. Dengan beralaskan sandal jepit, kakinya melangkah ringan ke arah pintu.
Waktunya memberi pelajaran.
"Berhenti ganggu, bisa?"
Nada pongah yang terdengar sangat sadis seharusnya dapat mengiris tipis-tipis hati siapa pun yang mendengar ucapan Bian.
"Bian!" Cantika memekik dengan senyuman begitu melihat wajah Bian. Pria itu membukakan pintu untuknya. Ini kesempatannya meminta maaf dan melarang pria ini pergi darinya.
"Bian, aku minta maaf. Aku janji bakal berlaku baik ke kamu. Aku janji nggak akan bikin kamu repot. Kamu jangan benci aku ya?"
What the hell is she talking about?
Bian hanya mengernyit, menggaruk daun telinganya.
"Bian, aku janji nggak akan bikin kamu marah lagi, maafin aku ya?"
"Follow me," ucap Bian tanpa repot-repot memandang lawan bicaranya.
Cantika menurut. Mengikuti Bian dari belakang. "Kita mau ke mana?"
Bian tidak menjawab. Pria itu hanya diam hingga keduanya sampai di parkiran. Bian membuka pintu mobil.
"Get in," suruh Bian kepada Cantika untuk naik ke dalam mobilnya. Perempuan itu sedikit kebingungan, namun tetap menurut.
Bian membawa mobilnya melintas dengan kecepatan penuh di jalan raya. Penasaran dengan tujuannya?
Kalian tidak lupa kan, Bian sebelumnya sudah berkali-kali memperingatkan Cantika untuk tidak kurang ajar, melewati batas, dan mengganggunya lagi, ingat?
Anggap saja benang kesabaran Bian sudah putus. Stok kesabarannya sudah habis. Memaklumi Cantika bertahun-tahun kini membuatnya muak. Jadi Bian hanya ingin meluruskan segala hal sebagai kompensasi untuk kerusakan mentalnya.
Se-simple itu.
Mobil memasuki pelataran rumah besar. Keduanya familiar dengan bangunan tiga lantai di depannya. Bian tetap tenang, hanya Cantika yang mulai gelisah.
"Bian, kita ngapain ke sini?!" Perempuan itu bertanya kepada Bian dengan volume suara yang dinaikkan. Kedua tanggannya memegang seatbelt kuat-kuat. Gestur yang menyuarakan bahwa ia tidak mau keluar dari dalam mobil.
"Lo bakal tau kalo udah masuk. Get out." Bian membuka pintu mobil. Kemudian membukakan pintu penumpang. Melepas paksa sabuk pengaman Cantika. Menarik perempuan itu agar keluar dari mobilnya.
"Bian, aku nggak mau!" Cantika meronta. Bian menyeret perempuan itu menuju pintu masuk. Melewati halaman luas yang menjadi tempat bermainnya semasa kecil.
"Bian, kamu udah gila?! Aku bisa mati! Kamu nggak mikir nasib aku?! Kamu nggak mikir nasib anak aku nanti?!"
"Sadly, I don't care."
Bian menendang pintu rumahnya. Pintu terbuka lebar. Menampakkan kemewahan kediaman keluarga Sastrowardoyo.
Benar. Bian membawa Cantika masuk ke dalam kandang macan. Mempertemukannya kepada seseorang yang seharusnya bertanggung jawab atas perempuan itu dan anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE WITCH OF MINE [TAMAT-LENGKAP]
Romance"Kalau sama kamu sakit, tapi kalau nggak sama kamu jauh lebih sakit lagi." Bian Sastrowardoyo-putra bungsu dari keluarga konglomerat Sastrowardoyo-menikah dengan Aswarina Priambudi dua tahun lalu. Aswari adalah perempuan tegas dan mandiri dengan har...
39. Clever as the Devil and Twice as Pretty
Mulai dari awal