Aku hanya bisa menarik nafas dalam. "Terserah."

***

Ada yang berbeda di ruang keluarga, saat kami pulang dari rumah sakit. Seperti sesuatu yang kurang. Apa yah? Aku menyapu seluruh ruangan dengan pandangan yang teliti.

Tv di ruangan ini sudah tidak ada di tempatnya. Jangan-jangan ...

"Mbok. Mbok Narsih!"

"Ia Tuan," yang dipanggil, jalan setengah lari ke arahku.

Aku menunjuk ke tempat tv yang kosong. "Tv mana Mbok?"

Mbok Narsih menunduk, lalu memainkan jemarinya. Dengan suara pelan dia menjawabku "Itu Tuan. Tadi diangkut sama Den Virgo, sama temen-temennya."

"Astaga!" Aku menyugar rambutku. Ternyata, anak itu tidak sekedar mengancam.

Ini tidak bisa dibiarkan. Sikapnya akan semakin kurang ajar.

Talita yang baru keluar dari kamar Melisa, langsung menghampiriku.

Berdiri mematung melihat tempat tv yang sudah kosong.

"Tvnya kemana Mbok?"

"Dibawa Den Virgo Nyonya. Saya permisi ke belakang!"

Tinggallah kami berdua. Aku bergeming. Memikirkan bagaimana cara memberi pelajaran kepada keluarga ini.

Semakin yakin aku untuk bertindak setelah mendengar perkataan Talita.

"Gak apa-apa Mas. Timbang tv doang. Nanti beli lagi. Jangan marah sama Virgo. Dia hanya ingin menikmati masa mudanya,"

Baiklah. Pelajaran dimulai.

***

Lewat chat, aku meminta Joshua untuk mencarikan kami rumah baru untuk kami tinggali. Rumah tipe 45.

Esoknya, sebelum mengurus proyek, kami mampir melihat rumah yang sudah berhasil ditemukan Joshua.

Rumah sederhana dan nyaman. Sudah direnovasi, dan punya pagar tembok keliling.

Setelah melakukan pembayaran, aku menghubungi semua anggota keluarga.

"Malam ini, semua harus berkumpul makan malam di rumah. Jangan ada yang absen. Papa mau bagi-bagi duit!"

Aku beri ikan segar untuk memancing kucing liar berkumpul. Sudah pasti pancinganku berhasil. Kucing-kucing peliharaanku, sangat suka dengan ikan segar yang bernama duit.

Proyek berjalan lancar. Aku memang harus berhati-hati dan bekerja lebih keras. Harga diriku dipertaruhkan kali ini. Uang perusahaan Anaya, harus aku kembalikan tepat waktu.

Joshua memakirkan mobil di parkiran restoran seafood langganan kami. Restoran yang full makanan halal enak, tapi ramah di kantong.

Langkah kaki kami langsumg terarah ke meja biasa yang sangat sering kami tempati. Karyawan di sini bahkan sudah hafal dengan wajah, dan menu favorite kami.

Tak sengaja mataku menatap satu meja dengan empat orang yang sedang makan. Pikiranku ingin melewati mereka saja agar tidak mengganggu, tapi, hatiku mengajak otak bekerja, memerintah kaki berjalan ke arah meja di sana.

Sepertinya mereka tidak menyadari kedatanganku. "Selamat siang!"

Serentak mereka mengarahkan tatapan mata kepadaku. Kebetulan yang sangat indah. Anaya dan ketiga anaknya ada di sini. Mungkin inilah maksud dari Aluna kemarin. Mereka punya acara keluarga.

Mataku menangkap Anaya yang menarik nafas gusar. Bahkan mereka seperti tersenyum dengan paksa. Meski begitu, Arga tetap menyambut dengan ramah.

"Selamat siang Tuan Surya," dia tersenyum dan berdiri menjabat tanganku. Aluna sibuk dengan ponsel, Anatasya menyedot jus alpukat pelan dan lama.

Anaya duduk dengan tegak. Menampilkan wibawanya, sepadan dengan outfit yang dia kenakan hari ini. Setelah jas merah maroon. Aluna dengan blous cream dan jas putih dokter yang masih melekat, Arga dengan semi jas yang ditarik ke sikut. Dan Anatasya dengan dress tosca. Rambutnya tergerai. Sangat cantik. Rapi, sopan, elegan dan bersahaja.

Aku bisa menerka, mereka baru saja tiba. Suasana canggung langsung menyergap. Tidak ada di antara para wanita-wanita itu yang bersuara kepadaku, meski hanya menyapa.

Sudahlah Anaya. Dia sudah jadi mantan istri. Tapi ... Aluna dan Anatasya? Mereka darah dagingku. Diacuhkan seperti ini, rasanya seperti hati disayat sembilu. Perih. Aku menelan saliva. Pahit. Sepahit kenyataan bahwa, aku bukan siapa-siapa mereka lagi.

"Maaf menggangu. Saya permisi dulu."

"Baiklah Tuan," sahut Arga.

Menatap sekilas kepada ketiga wanita di samping Arga, lalu berlalu dengan langkah gontai. Lapar yang tadi melilit, hilang entah kemana. Yang ada hanya perih yang melilit hati.

Aku hanya menatap makanan yang biasanya lahap kumakan. Joshua yang sedari tadi menikmati hidangan, tampak menatapku dengan tanda tanya.

"Ada Boss? Gak enak yah?"

"Cepet makannya Jo. Kita balik secepatnya."

Aku menyesap jus. Sekedar mengganjal perut. Mataku mencuri-curi pandang ke meja Anaya, mereka tampak sedang bercanda. Dan aku di sini, sedang menahan sakit di hati.

***

Meja makan bulat berbahan jati, sudah siap dengan hidangan makan malam. Menu menggiurkan dan mewah. Talita memang sangat menjaga menu makan kami.

Melisa dan Radit di kursi roda. Virgo dan Talita, lalu Mbok Narsih dan dua pelayan lagi. Berdiri tak jauh dari meja makan.

"Makan dulu. Papa lapar. Selesai makan baru Papa bagi-bagi duitnya."

Tatapan mata keluargaku terlihat berbinar. Mereka makan dengan lahap. Terlihat tidak sabaran dengan pembagian duit yang tadi aku katakan.

Aku tersenyum tipis melihat mereka. Lagi, aku menyesali diri. Seandainya dari dulu, aku mengatur keluarga ini, mungkin anak-anakku sudah berhasil.

Mungkin Melisa gak hamil di luar nikah, mungkin Virgo gak kecanduan balap liar, mungkin Talita gak keluyuran dan terus-terusan menghambur-hamburkan uang. Mungkin perusahaanku sudah berkembang dengan pesat. Dan kemungkinan yang lebih lagi, yaitu, aku tidak menceraikan Anaya.

Sekarang semuanya sudah terlambat. Mungkinkah ada sedikit waktu untuk menyelamatkan keluarga ini? Entahlah.

Tolong Maafkan AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang