Tanpa banyak bicara, pria itu langsung pergi menuju ruangannya dan Jeno mengikuti dari belakang. Kejadian seperti di kantor saat itu kembali terulang. Sang ayah duduk di sofa dengan Jeno jatuh bersimpuh sambil menundukkan kepala. Namun, saat ini mereka bicara sebagai seorang anak dengan ayahnya, bukan sebagai bawahan dengan atasan.
"Aboji, aku sudah melaksanakan tugasku sebagai tentara negara ini yang mencintai bangsanya hingga titik terakhir. Aku sudah menjadi anak berbakti dengan mematuhi ucapan Eomoni dan menuruti segala impianmu."
*Aboji (아버지): Ayah (panggilan formal)
Jeno terdiam sebentar untuk mengambil nafas. Paru-paru terasa menyempit hingga menimbulkan rasa sesak dan bibirnya bergetar.
"Tapi aku belum menjadi teman yang baik untuknya, Aboji. Aku bukan teman yang baik.." sambung Jeno dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Bahkan suaranya mulai memelan.
Tanpa bisa berkomentar, kepala keluarga Hong hanya bisa menghela nafas sambil menatap iba kepada putranya. Beliau tahu siapa yang Jeno maksud. Ternyata ini alasan Jeno pulang dengan begitu berantakan dan tampak sangat putus asa. Karena ia telah membunuh sahabatnya sendiri.
"Temanku Jaemin, dia anak baik, dia bukan apa yang dikatakan mereka. Aboji tahu kebenarannya, Aboji selalu tahu itu." pria paruh baya itu kembali menghela nafas lalu mengangguk kecil.
"Apa yang bisa kulakukan untuk pertama dan terakhir?" tanya beliau yang kini bersedia mengabulkan permintaan putranya.
"Aku ingin Jaemin diberikan surat kematian yang terhormat. Bukan mati sebagai pemberontak dan pengkhianat negara. Dia mati dipelukanku sebagai sahabat terbaikku, dia mati dipelukanku sebagai putra dan kakak laki-laki terbaik keluarganya. Itulah yang aku inginkan." ucap Jeno sambil menatap mata sang ayah penuh permohonan.
"Untuk kali ini, izinkan aku menjadi teman yang baik untuk Jaemin. Setidaknya sekali dan terakhir dalam hidupku, izinkan aku mengantar surat kematian Jaemin ke rumahnya. Izinkan aku menyampaikan salam duka untuk keluarganya sebagai seorang teman yang merasa kehilangan. Tolong izinkan aku, Aboji."
Tanpa penolakan, sang ayah menganggukkan kepala tanda mengizinkan dan menyanggupi semua permintaan Jeno.
"Lakukanlah jika itu yang ingin kau lakukan. Tentang surat kematian, aku akan mengurusnya dengan cepat dan memastikan kematian sahabatmu tidak ada sangkut pautnya dengan daftar hitam. Ada lagi?"
Jeno menggelengkan kepala tanda keinginannya sudah tersampaikan semua.
Walau tidak mengatakan, ayah Jeno tetap mengiba melihat putranya tampak sangat berduka atas kematian Jaemin. Mungkin muncul pertanyaan, mengapa pria dengan pangkat tinggi ini tidak bisa meloloskan Jaemin dari daftar hitam ketika ia masih hidup? Mengapa baru bisa membantunya setelah dia benar-benar mati dengan mengeluarkan surat kematian terhormat?
Hanya satu jawabannya, rasa takut. Ya, walau memiliki pangkat yang tinggi, bukan berarti beliau memiliki wewenang untuk meloloskan satu orang nama dari daftar hitam. Tidak ada yang berani dengan 'Boss Besar' jika sudah diputuskan.
Beliau baru bisa membantu mengeluarkan Jaemin dari daftar hitam negara karena menjadikan dirinya sebagai jaminan bahwa anak itu benar-benar sudah tak bernyawa. Melihat kondisi putranya yang sangat berantakan seperti ini sudah cukup meyakinkan bahwa anak itu benar-benar lenyap. Jika begini, akan lebih mudah menghapus namanya dari daftar hitam tanpa menimbulkan masalah.
Bagi beliau, paling tidak anak itu dapat 'beristirahat' dengan nama yang bersih dan keluarga yang aman dari pantauan. Hanya itu yang bisa ia lakukan sebagai permintaan maaf karena tidak bisa membantu apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
OUR PAST LIFE √Nomin
Historical Fiction⚠️Warning! Disarankan tidak baca 2x karena bisa menyebabkan kesedihan traumatis⚠️ ❤️HAPPY ENDING❤️ Sinopsis: Beberapa bulan terakhir Lee Jeno selalu dihantui perasaan gundah setiap berjauhan dengan kekasihnya, Na Jaemin. Berbagai hal sudah dilakukan...
17. Hari Tanpanya
Mulai dari awal