"Tentu kau tidak ingat." Zevo tersenyum sinis. "Kau mabuk. Astaga. Aku tidak percaya membiarkan Zeva bersama pria asing yang mabuk. Kalau ibunya tahu, bisa habis aku."
Masalah bertubi-tubi datang menimpaku karena segelas minuman sialan itu. Oliver dan yang lain harus membayarnya. Steven juga. "Nothing happened, right?" Entah pertanyaan apa ini, Zevo sama bingungnya denganku begitu mendengarnya.
"I don't know, you ask her." Zevo merespons dengan ketus, aku paham betul kekhawatirannya. Ini semua salahku. Seharusnya lebih tegas tadi malam dan menolak ajakan teman-teman sialanku itu. Dengan demikian, aku tetap sadar dan bisa mengantarkan Zevania pulang dengan aman. Tidak perlu repot-repot menelepon Zevo pada tengah malam. Dia pasti lelah juga setelah bekerja seharian. "If it's not for her who asked me to let you stay here last night, I might've let you sleep on the street—I don't care. I know my sister's principles, but I would never put her in danger. I hope you understand and promise this won't happen again."
"I promise. I respect her."
Zevo diam sejenak, memandangku dengan wajah yang siap memberikan seribu nasehat kehidupan. "If you respect her then you should know she's been waiting downstairs."
Aku bergegas meraih tas kameraku dan ponsel. "Kau mengizinkan aku jalan dengannya?"
Tangan Zevo bersedekap. "Hanya karena dia sendiri yang meminta."
"Aku tahu. Aku janji." Aku mengulurkan tangan padanya. Aneh. Mungkin efek mabuk. "Semalam itu di luar rencanaku. Teman-temanku—"
"Ya-ya. Zeva telah menceritakan semuanya," Zevo menginterupsi, tetapi berdiri dari kursi dan berjabat tangan denganku. "Aku percaya padamu dan ini kesempatan kedua yang kuberikan untukmu. Kalau kau rusak, akan kuobrak-abrik kota ini."
Aku tahu Zevo hanya bercanda tapi ancamannya terdengar sungguh nyata bagiku. "Aku akan menjaganya."
Zevo melepas uluran tangannya dan menepuk bahu. "Cepat pergi. Dia sudah menunggu dari tadi."
Aku juga telah menunggunya selama sepuluh tahun, batinku. Aku mengangguk pada Zevo. Sebelum membuka pintu kamar, aku berbalik padanya. "Kapan kau pakai galeri untuk syuting?"
"Besok siang," jawab Zevo, lalu dia mengusirku dengan tangannya sambil mengangkat telepon menggunakan tangan lainnya. Dia berbicara dengan bahasa Indonesia dengan lawan bicaranya.
Tidak ingin berurusan lagi dengan Zevo, aku segera meninggalkan kamarnya, berjalan menuju lift dengan pikiran yang terbang ke mana-mana, termasuk memikirkan Zevo; dia kembaran Zevania tapi berperan sebagai kakaknya. Dia sangat protektif.
Ketika hendak menekan tombol lift untuk turun ke lantai bawah, pintu baja itu terbuka. Tubuhku nyaris bertabrakan dengan seorang wanita yang rupanya adalah Zevania. Kami berdua tersentak. Aku spontan menahan pintu lift agar tidak tertutup. "Aku baru mau menghampirimu," kataku cepat. Merasakan pipiku menghangat setelah mengatakannya.
Zevania yang sama terkejutnya denganku buru-buru membuka mulut. "Aku juga."
Kami sama-sama melempar senyum kikuk. "Apa aku seharusnya—"
"Y-ya." Tubuh Zevania bergeser ke kanan, dekat dengan tombol lift.
Aku ikut masuk ke dalam lift. Tak lama pintunya tertutup setelah Zevenia menekan tombol turun. 3 lantai lagi hingga kami tiba di lobi. Zevania dan aku sama-sama tidak bersuara, tidak ada juga pengunjung lain yang menggunakan lift.
Baru saat kami di lobi, aku yang memulai buka suara. "Aku mau pulang dulu." Entah seberapa berantakannya penampilanku, mungkin jauh lebih parah dari hari pertama bertemu dengan Zevania. Kemeja yang berantakan dan bau alkohol. Sungguh memalukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal: The Lessons
Romance[BOOK #3 OF THE JOURNAL SERIES] London dan Zevania adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Seolah ada benang tak kasat mata yang mengikatnya selama 10 tahun terakhir, Zevania kembali menapakkan kakinya ke kota itu. Masih London yang sama, dengan...
12 | Islington
Mulai dari awal