Chapter 1 - Ani

Mulai dari awal
                                    

Tapi, yang paling sering kita lupa adalah anak-anak yang tersesat dan tidak punya perlindungan. Ada mereka yang terlahir kaya raya, tidak tahu caranya berteman, dan orangtuanya sibuk luar biasa. Begitu mereka masuk ke usia pencarian jati diri, gratifikasi dan suap bisa jadi kunci. Untuk apa? Hanya untuk bisa diterima. Ada lagi, mereka yang orangtuanya juga sibuk mencari nafkah meskipun hanya menghasilkan uang-uang kecil. Mereka-mereka ini biasanya terlahir di antara padatnya penduduk kota, tidak punya lahan bermain, tahu caranya berteman, tapi tidak tahu kapan waktunya menarik diri dari lingkungan yang membahayakan.

Di usia 15 tahunku, aku menemui mereka satu persatu. Mereka ada di mana-mana, berlarian ke sana ke mari mencari-cari jati diri, baik di tempat-tempat yang salah atau memang rumah mereka sendiri bukan jadi tempat nyaman untuk kembali. Cikal bakal dari kita semua yang suka mencari-cari, sedang mencari, masih mencari, atau sudah menemukan yang dicari, yang namanya jati diri.

"Aku siapa, ya?"

"Apa yang ku suka dan tidak suka?"

"Aku ini anak yang bagaimana, ya?"

"Nanti, kalau sudah besar, aku akan jadi apa, ya?"

"Boleh gak sih, aku gak usah jadi dewasa kaya yang lain?"

"Katanya kalau sudah dewasa, gak enak, ya?"

"Kenapa aku harus jadi orang dewasa? Toh, gak ada yang ngajarin juga gimana caranya jadi dewasa?"

"Nanti kalau sudah lulus SMP, aku mau jadi seperti dia, ah! Pasti asik!"

"Aku cuma mau lulus!"

"Jilbabku rapih gak, sih?"

"Ngapain, sih, repot-repot ngomongin soal dewasa, itu, kan, mah masih jauh."

"Bodo amat, aku cuma mau ikut tawuran!"

"Mau lulus kek nggak kek, yang penting hari ini masih dikasih duit jajan."

Semua jawaban teman-teman sekelasku terus menggema di dalam kepala. Sambil menunggu guru baruku, di dalam ruangan kuning itu, aku memandangi papan namanya. Sebenarnya aku tidak paham sama sekali kalau Ilmu Pengetahuan Alam itu dibagi menjadi tiga, ada Fisika, Kimia, dan Biologi. Kalian pikir aku paham soal itu semua? Tentu saja tidak, yang aku tahu hari itu hanya soal kakiku yang masih sakit selepas jatuh bermain bola basket kemarin sore. Dan jawaban teman-temanku terus memenuhi kepala, mereka berputar dan menari-nari di tengah ledakan bunga api lobus frontalku. Coba kalian pikir, anak bodoh mana yang bertanya kepada semua teman sekelasnya soal...

"Menurut kamu, dewasa itu apa, sih?"

Kalau harus ku ulang lagi masa itu, mungkin akan lebih baik jika ku biarkan diriku menghabiskan buku biografi Pak Habibi di kelas ketimbang melamun selepas Sholat Dzuhur berjamaah di mushola. Entah setan mana yang meniup sayup-sayup pertanyaan abu-abu seperti itu ke dalam kepalaku. Dan itu semua ku lakukan hanya karena aku ketakutan akan didaftarkan ke tempat bimbingan belajar yang baru. Ibuku yang diktator pasti akan sangat senang jika aku terus menjadi putrinya yang penurut sepanjang waktu. Melangkahi bagian-bagian prioritas dari seorang anak tentang diajak berdiskusi memutuskan apa yang mereka ingin lakukan.

Rasanya mustahil mengajak ibuku berdiskusi secara sehat, akan lebih memungkinkan kami berakhir bertengkar dan ia tidak akan bicara padaku untuk waktu yang ditentukan. Sangat membosankan! Jenis permainan anak-anak yang masih diperankan oleh orangtua terasa amat aneh dan tidak patut, mungkin begitulah rasanya saat kamu dibesarkan oleh orangtua kekanak-kanakan meskipun kamu sendiri juga masih kekanak-kanakan. Jadi, sampai kapanpun, tidak pernah ada hujan air di Mars.

Selama terus berpikir, aku jadi melupakan ketakutanku di hari pertama masuk kelas bimbingan belajar. Semuanya tampak normal seperti selayaknya sekolah, yang membedakan hanya kami tidak wajib pakai seragam sekolah. Dunia seperti ini terlihat lebih menyenangkan bagiku, ada banyak warna, rupa, bentuk, dan setiap perbedaan itu membentuk corak sendiri di diri tiap anak. Hal seperti ini membuatku mengerti tentang arti dari diversity yang sesungguhnya. Di dunia kecilku saat aku masih berusia 15 tahun, dari ruangan kuning inilah, aku belajar hal paling sendu sekaligus indah selama perjalanan kaki kecilku 10 tahun ke depan.

NILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang