Chapter 10 : The Multi Talent Secretary

Mulai dari awal
                                    

"Menyesal?" tanya Agathon khawatir.

"Sedikit takut untuk memulai." Jawabku jujur.

"Oh, come on! Tenang aja, make it slow." Kata Agathon mencoba menenangkanku.

"I'll try my best sir." Jawabku dengan helaan berat.

"Good girl." Puji Agathon. "Lo mending pulang terus shopping buat persiapan jadi sekertaris." Perintah Agathon. "Or, need my help? Gua kira iya, karena lo orang yang paling gak perduli sama fashion." Ejek Agathon.

"No need." Kataku agak ketus.

"Tidak terima penolakan." Serigaian bahagia muncul di wajah Agathon yang selalu dingin. "Ayo." Dan dengan cepat dia menarik tangan kecilku untuk mengikuti langkah panjangnya. Aku hanya bisa menghela nafas. Dan berharap pengalaman buruk di MOI tidak berulang.

*****

Author pov.

Kaki-kaki putih dan jenjang itu masih di balut oleh sepatu wedges hitam bertali tinggi, dan bukan lagi sepatu-sepatu murahan. Yaah, setidaknya bermerek karena dia habis 'di traktir' habis-habisan oleh atasannya.

Tapi nampaknya dengan seluruh pakaian bermerek dan juga tas bermerek tidak membuatnya sombong atau menatap remeh pada orang lain. Selain dia tetap naik bus, -dia memang tidak punya kendaraan- dia masih tidak bermasalah bersentuhan dengan orang lain.

Kaya mendadak tidak membuatnya sombong.

 Dia benar-benar malaikat tanpa sayap.

"Neng, eneng kan cantik, terus pakaiannya juga bagus banget. Kok naik beginian? Mobil eneng mogok ya?" tanya seorang ibu pada wanita tersebut.

Dia tersenyum ramah, senyumannya sampai pada matanya. "Saya emang gak punya kendaraan bu, dan kayaknya gak ada larangan buat orang pakaian bagus naik kendaraan umum kan? Lumayan, saya ngurangin polusi." Kata perempuan yang tak lain Nesya itu ramah.

"Oh alah, sopan tenan." Puji ibu itu lagi.

"Ibu bisa aja. Oh, ngomong-ngomong, ibu dari mana?" tanyaku pelan, walau aku bisa menebak dari banyaknya kantung plastik khas pasar tradisional.

"Pasar neng, anak-anak sukanya makan buatan rumahan." Kata ibu itu dengan mata senang, sepertinya menyinggung tentang keluarganya adalah hal yang dia sukai.

"Oh, gitu bu? Wah, pasti masakan ibu menang deh dari koki bintang lima." Godaku pelan. Terbukti, wajah ibu itu agak tersipu malu.

"Si eneng bisa aja." Jawab ibu itu malu.

"Eh, ibu. Maaf ya, saya gak bisa nemenin ibu lagi. Kantor saya udah di depan." Aku menunjuk ujung jalan tempat biasa aku turun. "Hati-hati lho bu." Jawabku sebelum berdiri dan berpamitan lalu turun dari angkutan umum.

"Hati-hati juga neng." Terdegar suara ibu itu membalas ucapanku lalu, bus tersebut meninggalkanku dengan asap yang banyak.

Yaah, terpaksa aku harus tutup hidung dari pada terkena zat-zat mematikan tersebut. Sedikit merapihkan bajuku yang agak lecek dan kumal karena terkena asap tersebut lalu masuk dengan penuh keyakinan. Tidak-tidak, bukan sombong, tapi pede. Beda lho. Hehe..

****

Nesya pov.

"NESSYAAA!!" pekikan terdengar keras. Siapa lagi kalau bukan supervisor dari divisi creative design. Andrea Mutiara.

"Kenapa kak?" tanyaku pelan dan lembut, oh jangan lupakan senyuman yang biasa menghiasi wajahku.

"Ciee... yang udah naik pangkat. Cie-cie.. Traktir doong." Suara kekanakan dari Andrea pun terdengar. Sedangkan aku masih tersenyum simpul.

One Last ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang