And The Wind Keeps Blowing 15/1

Start from the beginning
                                    

Uncle Gun.

"Madam Belle sudah berbicara padaku, aku sudah keterlaluan padamu, Uncle. Aku seharusnya tidak marah-marah seperti itu." Nirin menunduk, menyesal.

Off yakin ranjang rumah sakit itu bisa diatur ke posisi di mana pasien bisa duduk, dan ternyata benar, karena ia mendapati ada tombol pengaturan di sebelah kanannya.

"Sini, biar kupangku dirimu."

Nirin menggeleng-geleng. "Jangan, Uncle, kau masih sakit."

Off tersenyum, membuka kecil kedua tangannya. "Tak apa, kemarilah."

Nirin berdiam diri sebentar, ragu, tetapi karena dia juga sudah merindukan Uncle Off-nya, dia berusaha naik ke atas ranjang, kemudian duduk miring di pangkuan Off.

"Ayo kita lupakan saja apa yang terjadi hari itu, dan berbaikan." Off mengelus-elus rambut Nirin. "Kau mau berbaikan denganku?"

"Mau sekali, Uncle!" jawab Nirin bersemangat.

Off terkekeh, kemudian mengacungkan klingkingnya. "Tanda berbaikan."

Nirin menggamit jari itu dengan jarinya. "Tanda berbaikan."

Off mendekap Nirin hangat. "Terima kasih, Nak."

"Terima kasih juga, Uncle. Kau sudah sangat baik padaku."

"Aku senang melakukannya, kau temanku."

Nirin menjauhkan tubuhnya dari tubuh Off. "Di mana Uncle Gun?"

Pertanyaan itu membuat Off getir. "Dia tidak ada di sini, Nak." Nadanya sendu.

"Kenapa, Uncle?"

"Kau lupa aku sudah menyakitinya? Dia tak akan mau bertemu denganku lagi." Bahkan Off bermimpi Gun mengucapkan selamat tinggal.

Kepala Nirin menggeleng hingga membuat poninya bergerak, lalu dia memutuskan untuk turun dan kembali ke kursinya karena tidak betah dipangku berlama-lama. "Kau hanya perlu meminta maaf, Uncle. Dia pasti memaafkanmu."

"Begitukah?"

"Tentu saja," yakin Nirin. "Aku yakin dia akan mengerti, Uncle... lihat aku, aku mengerti sekarang."

Gun akan mengerti kalau Off meminta maaf dan mengatakan kepadanya bahwa ia mengakhiri hubungan mereka karena mereka tak punya banyak waktu?

Dapatkah hal semacam itu dimengerti?

"Entahlah, Nak, mungkin lebih baik begini saja." Itu sungguh penyangkalan diri yang luar biasa, Off senang dengan keberadaan Nirin, tetapi jauh di dalam lubuk hatinya, ia ingin bangun dan mendapati Gun ada di sana.

"Kau mencintainya kan, Uncle?"

Off tersenyum. "Tidak pernah tidak, Nak."

"Kalau begitu kau harus memberitahunya, Uncle. Jujurlah padanya, minta maaf, dan berbaikan."

Off menyukai ide Nirin, tetapi itu akan menjadikannya sangat egois, dan ia yakin tidak akan semudah itu, karena jelas Gun pasti membencinya.

Hari itu saat Gun datang ke TPF, Off benar-benar telah berlaku kurang ajar, meski itu teramat sangat susah dilakukannya. Ia berjuang mati-matian untuk tidak melihat wajah pria itu, apalagi menatap pada mata yang selalu menjadi kelemahannya.

Ia tahu, jika waktu itu sekali saja ia memandang Gun, apalagi menatap matanya, maka segalanya akan berantakan. Off yakin ia akan menarik tubuh yang sangat dirinya rindukan itu ke dalam pelukannya.

Rasa sakit dalam nada suara Gun saat mengatakan mereka bukan lagi OffGun melainkan Off dan Gun, atau bahkan Mr. Adulkittiporn dan Mr. Phunsawat, juga menjadi kesakitan baginya.

The Love of A Heartless ManWhere stories live. Discover now