prolog

13 0 0
                                    

Malioboro terlihat sangat ramai malam ini. Ah, kapan juga sih Malioboro sepi? Apalagi di musim liburan seperti saat ini. Kawasan ini menjadi destinasi yang wajib dikunjungi oleh para pendatang kalau ke Yogyakarta. Jadi tak heran kalau Malioboro selalu terlihat ramai. Yasa dan Naya pun sudah berjalan menyusuri kawasan ini sekitar 15 menit lalu. Melihat lalu lalang manusia yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Belanja oleh-oleh, berfoto ria, atau sekadar duduk tertawa bersama. Sesekali Naya terhenti ketika melihat toko yang di dalamnya ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Sementara Yasa, hanya mengikuti kemana adik kembarnya itu melangkah.

Yasa sudah cukup lelah sebenarnya. Setelah berkeliling seharian menaiki sepeda motor di Yogyakarta selama tiga hari ini, yang ingin ia lakukan saat ini hanyalah istirahat di kamar hotelnya. Tapi apa boleh buat, Ayah, Bunda dan Naya selepas Isya lalu dilanjut makan malam sudah mewanti-wanti dirinya untuk ikut berjalan-jalan ke Malioboro. Malam terakhir liburan di Yogya, kata mereka.

Yasa pun akhirnya mengikuti kemauan keluarga kecilnya ini, kalau dipikir-pikir mumpung liburan juga, kapan lagi ia bisa menikmati Yogya bersama keluarganya. Tapi tidak sesuai dugaannya, ternyata ia hanya menikmati malam di Malioboro berdua bersama Naya. Ayah dan Bundanya sudah entah kemana berpacaran.

"Lo ada rencana mau beli sesuatu, Yas?", Naya bertanya kepada Yasa yang sejak tadi juga sedang berpikir apakah ada sesuatu yang akan ia beli di Malioboro ini.

"Gua mau beli bakpia kukus aja.", jawab Yasa.

"Yaelah, beli sesuatu yang menarik gitu Yas. Yang cuma bisa lu dapetin di Yogya doang gitu."

Yasa melirik Naya seketika. "Emang bakpia bisa lu dapetin di Jakarta?"

"Maksud gue, lo bisa makan itu kapan aja sekalipun di Jakarta. Lo tinggal nitip Gibran kalo dia main ke Jakarta."

"Jadi sesuatu yang menarik yang lo maksud itu kaya apa? Gantungan kunci?", Yasa balik bertanya kepada Naya.

"Hehehe", yang ditanya hanya tertawa kecil sambil melihat ke arah Yasa.

Yasa menghembuskan nafas pelan. "Itu juga lo bisa nitip Gibran kalo dia main ke Jakarta."

"Beda dong vibenya, Yas."

"Lo kalo beli ganci langsung di tempat yang lo datengin itu bisa jadi kenangan tersendiri buat lo. Lo bakal ngerasain momen-momen di Yogya kalo lo liat gancinya itu di Jakarta nanti. Kalo makanan, lo cuma bisa menikmati kelezatannya doang. Itupun cuma sebentar", Naya menyambung ucapannya dengan memberikan penjelasan kepada Yasa dengan semangat. Sebenarnya, bukan sekali dua kali Yasa mendengar penjelasan adiknya ini. Setiap kali mereka liburan, udah jadi makanan empuk bagi Yasa mendengarkan hal ini.

Naya memang cukup unik dari segi pemikiran, setidaknya itu pandangan Yasa. Entah sudah berapa banyak gantungan kunci yang dikumpulkan Naya di rumah. Setiap melakukan perjalanan ke mana saja, selama itu tempat baru yang ia kunjungi, yang pertama kali dicari Naya adalah gantungan kunci. Bayangkan, pergi ke Museum Nasional saja yang bahkan mereka bisa kunjungi tiap pekan, Naya tetap mecari gantungan kunci sebagai kenang-kenangan katanya. Kalau ada saja penyebutan untuk kolektor gantungan kunci di KBBI, Yasa akan menjuluki adiknya dengan sebutan itu.

"Yaudah lo mau cari sekarang atau mau keliling dulu?", Yasa bertanya lagi kepada Naya.

"Langsung aja deh cari. Gue dah capek, pengen rebahan di kamar."

Yasa sangat setuju dengan Naya kali ini. Rebahan di kamar menjadi sesuatu yang sangat diinginkan Yasa saat ini.

Keduanya pun segera mencari toko yang menjual gantungan kunci. Sebenarnya banyak sekali toko-toko yang menjual gantungan kunci sepanjang jalan Malioboro, tapi sebanyak itu pula tidak ada yang berhasil menarik perhatian Naya. Entah gantungan kunci seperti apa yang menarik perhatian Naya ini, padahal kalau dipikir-pikir semua toko menjual gantungan kunci dengan model yang sama.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 08, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Athallah : Awal Perjalanan WaktuWhere stories live. Discover now