Ch. 36: The Watchdog

Mulai dari awal
                                    

“Ada yang kau suka?” Zita menggoda. “Pilihlah satu, aku bisa memberimu potongan harga untuk pelanggan pertama.”

Paing tidak menjawab. Zita membawanya ke ruang paling belakang dengan dinding-dinding kaca transparan mengarah pada hutan. Wanita itu duduk di belakang meja jati besar dan mempersilakan Paing menyatakan urusannya.

Tanpa berbasa-basi, Paing menawarkan sepuluh ribu rupiah untuk informasi mengenai Gentala. Upah minimum tertinggi di negara ini adalah 500 rupiah, jadi angka sepuluh ribu harusnya sudah cukup besar. Zita justru mencemooh Paing, membuat kesabaran pria itu habis.

Paing duduk di atas meja di depan Zita, mengeluarkan pistol dari balik ikat pinggangnya dan menempelkan moncong senjata itu ke kening Zita.

“Aku memberimu pilihan terakhir,” Paing berkata dingin. Ia meletakkan uang lima ribu rupiah di atas meja, di samping paha kirinya. “Beritahu aku informasi yang benar dan uang ini jadi milikmu, atau tutup mulut selamanya sekalian dengan usiamu.”

Zita melirik senjata Paing dengan tegang. Akhirnya wajah penuh senyum itu kehilangan lekuk ramahnya. “Kau tidak akan melakukan ini."

“Itu sebuah tantangan? Aku bisa menyeret salah satu kucing di luar dan menunjukkan bahwa benda ini bukan mainan.”

“Hanya orang rendahan yang tega melukai perempuan tanpa senjata.”

“Persetan! Semua orang sama di mata hukum," Paing menambahkan lirih, “juga di mata kematian.”

“Aduh, jangan bicara soal kematian,” sahut Zita. Telapak tangannya diletakkan di atas lembaran uang kertas di meja. “Aku sayang nyawaku.”

“Nah, begitu lebih baik.” Paing belum menyingkirkan senjatanya.

“Gurnadur Gentala bersahabat baik dengan pemain lama di Adikarta,” Zita menerangkan. “Namanya Amir, kau pasti tahu siapa dia.”

“Amir dari Adikarta,” gumam Paing. Ia tahu orang itu. Preman arogan yang memproklamirkan diri sebagai seorang mafia, petentang-petenteng di jalan seakan dirinya adalah anak presiden. Amir memang punya anak buah banyak dan lebih lama bercokol di dunia bawah ketimbang keluarga Effendi. Pria itu bersahabat dekat dengan keluarga Tin yang mengendalikan separuh kekuatan militer berkat hubungan kekeluargaan dengan jenderal-jenderal paripurna berpengaruh.

“Mengenai siapa letnan barunya, aku tidak tahu.” Zita menggunakan dua sisi jarinya untuk mendorong laras senjata Paing menjauh dari pelipis. Paing menggesernya kembali hingga menempel ke pelipis Zita. Wanita itu menghela napas. “Yang kudengar hanya Amir meminjamkan dua jago tembak dan satu anak buah untuk menuntaskan hutang lama dengan Effendi. Separuh kekuatan negara ini mengincar Marissa dan anak-anaknya. Dia sudah tamat. Kalau aku jadi kau, aku akan kabur selagi bisa, mengubah nama, dan menghilang selama setidaknya lima tahun."

“Kalau aku jadi kau, aku tidak akan bicara sembarangan soal Marissa."

“Mau cerita sedikit kenapa kau mau bekerja untuk Marissa Effendi?” Zita penasaran. “Setahuku dulu kau bekerja untuk Mustafa Effendi seorang. Kupikir saat dia tiada, kau akan hinggap ke keluarga lain.”

“Kenapa tanya-tanya?”

“Penasaran saja.” Kepercayaan diri Zita kembali bersama dengan berlanjutnya percakapan mereka. Matanya kembali melengkung ramah seperti bulan sabit dan senyumnya terulas. “Biasanya para letnan akan bubar begitu jenderal mereka hilang. Kau, sebaliknya, tetap bersama Marissa. Apa ada sesuatu darinya yang menarik hatimu? Kau tahu aku bekerja dalam bidang apa. Sedikit informasi mengenai apa yang membuat orang sepertimu bertahan di sisi seorang wanita akan jadi pelajaran berharga bagi bisnis ini.”

Paing mengerutkan dahi. “Siapa peduli apakah dia perempuan atau laki-laki? Aku tidak mendampingi Effendi demi apa yang mereka miliki di pangkal pahanya. Mungkin sulit bagi orang sepertimu memahami kesetiaan, jadi tidak usah dipaksakan."

Bukannya tersinggung, Zita justru terheran-heran. “Kesetiaan?”

“Apa lagi yang kau tahu?” Paing mengembalikan fokus pembicaraan ke topik semula.

Zita berpikir sebentar, lalu mengangkat bahu. “Hanya itu yang kutahu. Soal Amir, aku yakin kau lebih mengenalnya dibanding siapa pun."

“Kau akan memberitahuku lagi jika ada hal baru."

“Itu sebuah tawaran bisnis atau ancaman?”

“Seandainya kau menerima sepuluh ribu rupiah tadi tanpa banyak tingkah, itu mungkin sebuah tawaran bisnis.”

“Jadi aku masih berada dalam ancaman?”

“Sesukamu menyebutnya apa.”

“Kalau boleh jujur, aku lebih suka berbisnis. Punya banyak teman lebih baik dibanding punya banyak musuh. Sedikit kesalahpahaman ketika berkenalan adalah hal biasa, bukan?” Zita tersenyum tipis.

Paing menggeleng. “Bukankah aku seharusnya melarikan diri dan mengubah namaku? Sekarang mendadak kau ingin berbisnis dengan pihak yang kalah?”

“Itu kan tadi. Aku wanita yang fleksibel.” Zita membuat uang di atas meja menyebar dalam bentuk kipas, kemudian menumpuknya lagi dalam satu usapan tangan.

“Seseorang berubah pikiran dalam waktu singkat biasanya bukan tanda kejujuran.”

“Kau bukan orang yang memandang jenis kelamin seseorang untuk bekerja dengannya, Paing, tapi aku sebaliknya.” Zita tersenyum manis. “Bisa mendapatkan kesetiaan dari loyalis sepertimu sudah membuktikan kompetensi Marissa. Aku suka berada di pihak wanita tangguh."

“Dan aku suka orang yang fleksibel.” Paing menyimpan senjatanya dan mengulurkan tangan kanan. Zita menjabatnya dengan mantap.

***

Cages: The Mafia's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang