"Tidak apa. Istirahat lah," Rinjani tadinya mau pergi tetapi Sinta mencegah tangannya.
"Aku tidak tahu apa yang sedang kamu pikirkan, tapi kalau kamu butuh teman untuk bercerita aku siap mendengarkan."
Hanya gelengan pelan yang mewakili, bagaimana mungkin Rinjani bercerita tentang masalahnya sedangkan Sinta juga tengah menghadapi masalahnya sendiri.
"Ngga kok, aku cuma keinget papa aja."
Sinta merubah posisi dari yang tadinya tiduran menjadi duduk. "Kamu boleh membohongi orang lain tapi jangan membohongi diri mu sendiri."
"It's okay, aku ambil laptop dulu."
Mengambil laptop adalah alibi untuk menghindari pertanyaan Sinta. Wanita itu seperti bisa membaca pikirannya atau mungkin Sinta hanya menebak melihat dari mata sembabnya. Entahlah yang pasti Rinjani belum siap bercerita.
"Tugas mu sudah aku rangkum sekarang kamu tanda tangan baru kita kirim lewat email."
Sinta mengerjap, memeluk Rinjani yang kini duduk di pinggiran ranjang. "Terima kasih, aku ngga tahu kalau ngga ada kamu."
"Apa si, ingat kita itu teman jadi harus saling---" belum selesai Rinjani bersuara Sinta sudah menyela.
"Tolong menolong. Aku sudah hafal kata-kata ini."
"Cih, tunggu hingga laptopku menyala. Setelah itu tanda tangan nanti ku kirim ke dosen."
"Sip."
Sambil menunggu laptop menyala sempurna, Sinta dan Rinjani bermain ponsel. Tiba-tiba bip pesan dari ponsel milik Sinta berbunyi. Sinta mendesah setelah membaca pesannya.
"Dari siapa?"
"Sugar dady ku."
"Ck," hanya desisan pelan yang keluar dari bibir Rinjani.
"Jan, ada hal yang mau aku omongin ke kamu."
Rinjani masih fokus ke ponsel hanya memberi kode agar Sinta melanjutkan ucapannya.
"Aku pernah membuat kesalahan besar."
Rinjani menghentikan tangan pada benda pintar tersebut, tatapannya mendelik dengan kerutan pada dahi.
"Aku ingat kejadian itu, malam selesai party Javas mengantar mu pulang disitu hanya ada aku dan Barron. Saat itu suasananya sangat syahdu hingga kami berdua khilaf melakukan hal yang seharusnya tidak kami lakukan."
Sinta meneteskan air mata mengingat momen bersama Barron. "Kalau boleh jujur sebenarnya aku menaruh rasa pada Barron, tapi aku tidak pantas dengan kisah ku yang kelam ini."
"Sin,"
"Jani, mengapa saat itu aku bersikeras melarang mu menjadi seperti ku. Aku tidak mau kamu mengalami hal serupa."
"Ssstttttt iya Sin iya. Udah ya udah kamu sudah banyak bicara hari ini." Rinjani berusaha menenangkan ketika Sinta mulai menangis, deraian air mata membasahi pipi.
"Aku tidak tahu apa aku masih punya nyali keluar rumah setelah berita besar ini tersebar?"
Rinjani terdiam, dia sendiri tidak memiliki jawaban atas pertanyaan itu. Keduanya hanyut dalam peluk haru yang kembali menghiasi.
"Nah daripada kita bahas ini mending kita diskusi buat tugas kamu. Aku tunjukan ya hasilnya."
Sengaja Rinjani mengubah topik agar Sinta tidak terus memikirkan masalahnya. Sinta mengangguk meski pikirannya sangat kacau ia tetap mementingkan tiga kuliah. Untung ada Rinjani yang mau membantu merangkum materi sekaligus mengerjakan beberapa tugas lain jika tidak Sinta dipastikan tidak mengikuti ujian akhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cupid Lonestly
Teen FictionMATURE CONTENT warning!! area 21+ 🔞 "Ahh ssstttt jangan berisik Rinjani nanti papa dengar!" "Bodo amat! papa mu harus tahu sebejat apa anaknya." "Oh kau menguji ku? baik akan ku tunjukan se bastard apa diriku." selanjutnya tidak ada lagi rancauan...
61.... Setting
Mulai dari awal