"Ini pertama kalinya Ranran bertingkah begitu," ujarku sambil tersenyum. "Tapi aku senang kau kembali. Ia mungkin akan berhenti menangis setelah melihatmu."

Arsen menghela napas panjang, membalas ucapanku dengan senyum khawatir. Lelaki itu menunduk untuk mengecup pipiku lembut. Sudah lama sekali sejak aku menerima kecupannya. Ia membuat hatiku berdesir hangat karena kecupannya. Aku menahan senyumku, merasa bagai remaja yang baru pertama kali menerima kecupan di pipi.

"Maafkan aku. Harusnya aku kembali lebih cepat," gumamnya pelan.

Aku mengulurkan tangan, mengusap lengannya yang terasa keras dengan lembut untuk menenangkannya. "Kami baik-baik saja, Arsen. Bagaimana kalau kau beristirahat sekarang? Kulihat, wajahmu tampak lelah."

Arsen mendesah pelan, kembali menunduk dan mengecup pipiku. "Kau belum makan sejak siang, 'kan? Makanlah dulu. Aku akan istirahat kalau sudah melihatmu makan dan minum obat."

Aku mengangguk, membiarkan Arsen membantuku bangun untuk makan sedikit dan minum obat. Aku memutuskan untuk membasuh tubuhku agar tetap bersih dengan air hangat setelah makan. Kemudian, aku kembali berbaring di ranjangku, ditemani Arsen yang kembali menggenggam tanganku sambil duduk di tepi ranjang.

"Kau masih belum istirahat?" tanyaku parau sambil menatap Arsen.

Lelaki itu menggeleng. "Aku akan menunggumu sampai tidur."

Wajahnya yang tampak lelah membuatku merasa tak tega. Aku melepaskan genggaman tangannya.

"Istirahatlah. Kau sudah sangat kelelahan," ujarku.

"Aku tidak apa-apa, Leila. Aku ingin berada di dekatmu untuk memastikan kau segera tidur. Biarkan aku bersamamu, ya?" pintanya sambil menatapku memohon.

Dengan wajah kelelahan dan dirinya yang memohon padaku dengan suara lembut, mana mungkin aku tidak mengizinkan. Meski aku tahu tidak seharusnya ia kubiarkan berada di kamarku, aku tidak tega mengusirnya. Aku menggeser tubuhku, memberikan tempat yang cukup untuk Arsen merebahkan tubuhnya. Ranjang yang kugunakan hanya cukup untuk satu orang saja, tapi kurasa akan muat bagi Arsen berbaring bersamaku juga.

"Kalau begitu tidurlah di sini." Aku menatap Arsen yang terdiam. "Kau harus tidur."

Arsen tidak membalas. Kulihat ia mengukir senyum samar di wajahnya. Kemudian, ia berbaring di sebelahku. Aku terkesiap kaget saat lelaki itu menarik tubuhku mendekat dan memelukku erat-erat. Aroma nilam bercampur cendana, dengan sedikit aroma sabun yang kukenakan bercampur. Pelukannya yang nyaman dan hangat membuat tubuhku yang sempat menegang menjadi rileks.

Aku harusnya menolak, tetapi perasaan nyaman yang begitu familiar membuatku diam dan menerima pelukannya. Pelukannya membuatku teringat masa-masa kami tinggal serumah. Kehangatan yang Arsen pancarkan juga semakin merangsang kenangan-kenangan yang tersimpan dalam benakku. Aku mengarahkan tatapanku kepada Arsen.

Ia kelihatan lebih dewasa dari terakhir yang kulihat. Manik cokelatnya tampak semakin dalam. Tulang rahang dan hidungnya semakin tegas. Aku melihat sedikit kerutan di sudut matanya. Kutebak, kerutan itu muncul karena ia kurang tidur dan stres dengan pekerjaan. Rambutnya yang hitam dan tebal kini kelihatan agak panjang, tidak dipangkas dengan gaya undercut lagi. Tanpa bisa kuhentikan, tanganku menyentuh rambut Arsen yang halus.

"Kau harus memotong rambutmu," gumamku pelan. "Kelihatannya sudah panjang melewati mata."

Arsen tersenyum tipis, mengeratkan pelukannya di tubuhku. "Benarkah? Aku akan memotongnya besok. Seperti apa potongan yang harus kuminta?"

"Seperti biasanya. Kau cocok dengan potongan yang biasa kulihat, tapi yang sekarang juga cocok."

Arsen tidak membalas ucapanku. Ia tertawa rendah sambil menunduk dan menyembunyikan wajahnya di leherku. Napasnya yang lembut menyapu kulitku, membuatku sedikit mengerut karena merasa geli.

"Aku senang mendengarnya," bisik Arsen halus. "Sekarang tidurlah. Aku akan menunggumu tidur."

Aku menggeleng kecil. Seharian tadi aku sudah tertidur. Rasa kantukku hilang karena terlalu banyak tidur. Obat demam yang kuminum harusnya bisa membuatku mengantuk, tetapi efeknya pasti harus menunggu beberapa puluh menit lagi, bahkan mungkin bisa berjam-jam.

"Aku tidak mengantuk sekarang. Bagaimana kalau kau saja yang tidur? Toh, kita sudah sama-sama berbaring di ranjang," ujarku.

Arsen sedikit menjauhkan diri dariku, menatap wajahku dengan alis terangkat. Tangannya terulur menyentuh wajahku dengan lembut.

"Aku tidak bisa tidur sendirian dan membiarkanmu menunggu sampai bosan, Sayang."

"Aku tidak apa-apa." Aku tersenyum. "Tidurlah, Arsen. Kau harus istirahat."

Arsen tidak menjawabku. Ia menatapku lekat dan lama. Kemudian, tanpa sepatah kata, lelaki itu menunduk dan mengecup bibirku. Aku terdiam, terkejut tapi membiarkannya. Kecupan ringannya perlahan berubah menjadi lumatan dan hisapan. Aku masih diam, tidak mendorongnya menjauh. Jangan tanya apa alasannya. Aku hanya merasa terlalu familiar dengan situasi ini, sehingga ciumannya sama sekali tidak membuatku merasa tak nyaman terlepas kami sudah dua tahun tak saling tatap.

Perlahan, kurasakan lidah Arsen melesak masuk ke dalam mulutku, mengajak lidahku beradu dengan lembut. Tangannya yang diam mengelus punggungku, menyelinap masuk dalam pakaian tidur yang kukenakan. Aku terengah saat ia melepaskan ciumannya. Tubuhku terasa panas, tapi bukan karena demam. Arsen menatap mataku lekat, meminta izin padaku.

"Bolehkah?" tanyanya rendah dengan suara parau.

Aku tidak tahu apa yang merasukiku, tetapi aku mengangguk. Kurasa aku merindukannya. Atau aku hanya ingin berada dalam dekapannya saja. Maka malam itu, aku bercinta dengan Arsen, membiarkannya meninggalkan banyak bekas di tubuhku dan terkulai lemas di ranjang saat kami selesai. Aku kacau sekali malam itu. Tubuhku lengket dan basah. Arsen membersihkanku seperti yang dulu sering ia lakukan. Demamku tidak bertambah baik. Kurasa, demamnya akan semakin parah esok pagi.

Namun, tidak ada yang bisa kukatakan. Meski Arsen yang memulai, aku juga yang memberi izin. Malam itu, aku terlelap dalam pelukan Arsen, sejenak melupakan segala hal dan hanya ingin tenang dalam pelukannya.

Note:

Hidden story 6 udah ada di KK ya. Warning, mature content!

Fault in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang