9. Kita Nikah Aja Yu?

Start from the beginning
                                    

Mata hitamnya...

"Astaghfirullah." Guman Hilmi pelan,
"Kenapa?" Tanya Raja,
"Gapapa. Sebentar lagi adzan, saya mau wudu dulu."

Raja hanya mengangguk, Hilmi mengajak Hakim untuk berwudu juga sebelum adzan.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
━━━━━━━━━━━━

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
Akad nikah berjalan dengan lancar. Hilmi hanya memperhatikan dari pinggir. Istri Raja dibawa keluar dari kamarnya, duduk di samping Raja setelah menyalami Raja dan membaca doa. Hilmi menghela napas pelan, dia masih tidak melihat tanda-tanda Laila ada di sini. Bagaimana jika Laila tidak datang?

"Mau juga Bang?" Bisik Hakim membuat Hilmi menoleh,
"Kalo Ayah Bunda izinkan sih mau, tapi nanti istri aku makan apa? Pendidikannya siapa yang tanggung?"
"Minta Ayah lah, Ayah kan kaya."

Hilmi mendelik sedangkan Hakim terkekeh pelan,

"Cari calonnya dulu kalo kata Hakim." Ucap Hakim,
"Ada. Kenapa? Mau biayain?"
"Siapa sih? Masa Mas Raja tau tapi Hakim ga tau?"
"Kepo."

Hakim mendengus sebal, kembali memperhatikan pengantin baru di depan mereka. Setelahnya Para tamu memberi selamat bergantian termasuk Hakim dan Hilmi. Mereka bersalaman dan berfoto seadanya.

"Ga datang ya?" Tanya Raja,
"Kayanya engga." Jawab Hilmi, "saya ga bisa lama-lama di sini. Nanti kalo dia datang kasih tau ya." Lanjutnya,

"Pulang sekarang?" Tanya Raja,
"Iya. Bukde Pakde juga pulang sekarang." Jawab Hilmi menunjuk bukde dan pakdenya yang datang sejak tadi.

Raja mengangguk, mereka berpamitan dan kembali ke parkiran.

"Hakim ikut Pakde aja naik mobil, motornya biar aku yang bawa, aku ada urusan sebentar." Ucap Hilmi,
"Ikut Bang."
"Engga."
"Ikut Bang, janji ga ngerepotin."
"Engga Hakim. Udah sana masuk mobil."

Hakim menurut dan masuk ke mobil pakdenya dan Hilmi langsung berpamitan kepada mereka dan mengatakan akan pulang sebelum maghrib atau paling lama pukul tujuh malam.

Hilmi langsung membawa motornya ke tujuan pertama yang ada di otaknya. Rumah Laila. Dia memang tau rumah Laila karena Hilmi pernah membaca biodata Laila di ruang tata usaha.

Menjalankan motornya dengan cepat menuju salah satu perkampungan dan langsung mencari rumah dengan nomor 21. Hilmi sudah sampai, dia berhenti agak jauh di depan, memperhatikan rumah yang tampak sepi.

Lalu apa? Hilmi tidak tau apa yang harus dia lakukan, terus maju dan berhenti di depan rumah itu, turun kalu mengetuk pintu? Bagaimana jika ternyata yang membuka pintu adalah orang tua Laila? Apa yang harus Hilmi katakan?

Saya rindu sama anak bapak.

Hilmi menggeleng pelan, mana boleh seperti itu.

"Iya Bu, aku bakal pikirkan."

Hilmi tersenyum, itu suara Laila yang datang dari arah belakang. Hilmi hendak membalikkan tubuhnya tapi urung saat mendengar ibunya berbicara.

"Kamu ga jadi ke nikahan teman kamu?"
"Engga."
"Kenapa? Katanya kamu kangen sama teman kamu yang sekarang kuliah di Jakarta, dia ke sana kan? Kok kamu malah ga jadi?"
"Gapapa, Bu. Aku malu, di pernikahan Raja pasti banyak orang-orang penting, ga pede."
"Tapi jadinya kamu ga ketemu teman kamu to? Siapa sih namanya? Cewe atau cowo?"
"Ehh.. oh itu eng.. cewo."
"Hah? Cewo itu apa? Maksudnya dia waria?"

Hilmi hampir saja tertawa, dia berdehem pelan saat suara langkah kedua orang itu semakin mendekat dan berbelok masuk ke halaman rumah.

"Bu, aku aja ya yang antar pesanan Bu Rima." Ucap Laila mengalihkan pembicaraan,
"Oh iya astaghfirullahalazim, hampir aja lupa. Ya udah kamu tunggu di luar aja, pergi sekarang ya, takut hujan."

HiLalWhere stories live. Discover now