"Hm. Kaja." Riki pun menggaet tangannya untuk menghampiri motor itu. Jaeyun masih terkesima melihat benda itu sampai-sampai dia tidak sadar Riki memberikan sebuah helm padanya. Akhirnya Riki memasangkan helm itu di kepalanya.

"Riki, kau yakin kita naik ini?" cemas Jaeyun, dia sama sekali tidak pernah naik motor seumur hidupnya.

"Ya. Ayolah naik saja. Aku akan pelan-pelan bawanya."

Tak mau membuang waktu, Jaeyun pun naik di belakang Riki, menaruh tasnya di tengah-tengah, lalu berpegangan pada jaket Riki.

"Pegangan yang betul." Riki menarik kedua tangan Jaeyun untuk melingkari perutnya. Ia tersenyum di balik helmnya melihat Jaeyun hanya menurut.

Motor gede itu pun melaju membelah jalanan. Sepanjang perjalanan itulah Jaeyun tak sekalipun melepaskan pelukannya. Ini pengalaman pertamanya naik motor jadi wajar kalau dirinya agak takut. Meski Riki mengatur kecepatan selambat mungkin, tetap saja Jaeyun tak berhenti mencemaskan banyak hal.

Restoran ichiran yang dituju Riki berada di dekat area kampus. Sehingga tempat itu cukup ramai dikunjungi oleh para mahasiswa.

"Kau kuliah disini?" tanya Jaeyun begitu mereka turun dari motor lalu berjalan memasuki restoran.

"Hm."

"Makanya kau tau tempat ini."

"Disini ichirannya lezat sekali, makanya aku ingin kau juga mencobanya."

Usai memesan, mereka pun duduk bersebelahan. Sambil menunggu, Jaeyun melihat sekelilingnya. Dia sedikit merasa iri dengan para mahasiswa itu. Pakaian mereka sangat modis. Asyik mengobrol dengan teman-temannya. Ada juga yang datang bersama pacar. Masa muda yang tidak pernah Jaeyun rasakan sebelumnya.

"Dulu Hyung kuliah dimana?" tanya Riki memulai percakapan.

"Aku? Ah, aku tidak kuliah."

Riki mengernyit. "Lalu bagaimana kau bisa bekerja di perusahaan itu?"

Iya juga, batin Jaeyun. Kalau dilihat dari latar belakang pendidikannya, jelas tidak mungkin Jaeyun bisa lolos bekerja di perusahaan Sunghoon, apalagi sebagai sekretaris presdir.

"Itu... yah dia suamiku, dan dia sendiri yang memintaku jadi sekretarisnya."

Riki terlihat makin bingung. Tapi dia memilih mengiyakan saja.

"Riki sendiri, kau tidak punya pacar?"

"Pacar? Punya."

Jaeyun mengangkat alisnya terkejut. "Serius? Ah aku jadi tidak enak padanya."

Riki terkekeh gemas. "Tenang saja, dia tidak akan protes. Orangnya disini kok."

Jaeyun terlihat semakin syok. Dia menoleh ke kanan kiri mencari gadis atau pemuda yang sekiranya adalah pacar Riki. "Mana? Namja? Yeoja?"

"Namja. Ini."

Jaeyun melihat arah telunjuk Riki, lantas berdecak sebal sambil mencubit bisep yang lebih muda. "Aku serius, Riki."

Pemuda jangkung itu tertawa sejenak sebelum ekspresinya berubah soft. "Aku juga serius, Hyung."

Jaeyun menatap pemuda itu tak percaya. "Tidak lucu, Riki. Aku sudah menikah."

"Memangnya kalau sudah menikah tidak boleh punya pacar?"

Pria yang kini bermarga Park itu tampak menganga. Speechless, bisa-bisanya jagung muda ini bicara melantur seperti itu.

"Ah menyebalkan. Aku tidak akan bicara denganmu lagi."

Riki tertawa lagi. Jaeyun selalu terlihat lucu, terlebih saat merasa jengkel padanya. Dia awalnya memang iseng saja bilang begitu. Tapi yah, dia tidak sepenuhnya bercanda juga saat bertanya begitu. Sunghoon tidak tampak mencintai Jaeyun, jadi apa salahnya kan kalau Jaeyun berpacaran dengannya?

He is my wifeWhere stories live. Discover now