Bab 47 | Dari Heinz: Seekor Merak yang Melepas Belenggunya

Mulai dari awal
                                    

“Setelah memerasku selama bertahun-tahun, kau masih belum puas, Marie? Apa lagi yang kau cari?”

Marie tidak memedulikan itu. Dengan seluruh amarahnya, ia hanya ingin menyampaikan satu hal. “Kau akan tetap menikahi gadis itu--Magdalena Tannenbaum--Rudolf!”

Mendengar nama itu, seketika Rudolf mencengkeram celananya. “Aku tidak akan pernah melupakan apa yang ia lakukan kepadaku. Orang macam apa yang tega menodai anak tidak berdosa? Benar, tidak lain adalah Tannenbaum! Ia membuatku menderita! Ah, Marie, kau tidak akan pernah mengerti. Kau sama menjijikkannya.”

Rudolf berjalan mendekati wanita itu. Sebuah pukulan dari Marie tidak lagi mengganggunya. Rudolf menepisnya. Ia mengangkat kerah Marie tinggi-tinggi.

“Bagaimana rasanya? Bagaimana rasa kekayaan yang kau dapatkan dari penderitaanku? Suatu saat kau akan mati karena tenggelam di dalamnya.”

Tubuh Marie terangkat. Kini ia tidak dapat berbuat banyak. Bahkan di situasi yang tidak menguntungkannya, Marie masih sempat tergelak dan menyuarakan taktik liciknya.

“Oh, aku baru ingat, Rudolf. Bukankah kau memiliki adik yang berwajah serupa denganmu? Heinz, aku bisa membuat gemerlap dunia membutakan matanya. Iming-imingi saja dengan cinta dan kasih sayang, ia akan segera jatuh ke sana.” ujarnya.

Mendengar itu, mendadak aku menyingkir dari celah pintu. Bulu kudukku berdiri. Aku mengusap-usap kerahku yang mulai lembap oleh keringat.

Apa-apaan ini? Apa yang akan terjadi padaku? Mengerikan. Seketika aku teringat wajah hina Klaus Tannenbaum ketika ia menatapku.

“Aku menyesal tidak memerhatikannya sejak awal. Ia akan menjadi sosok menawan yang baru. Lebih muda, wajahnya tidak berdosa. Ia akan sangat dicintai.”

Entakkan kaki Rudolf terdengar, disusul suara rintihan Marie, mengeluhkan lehernya yang tercekik. “Jangan berani-berani kau menyentuhnya!” bisik Rudolf penuh ancaman.

Marie tidak gentar. Cekikkan di leher tidak menghalanginya. Ia terkekeh dengan durjana di depan wajah Rudolf. “Bahkan hanya dengan namaku, aku bisa melakukan segalanya! Hanya dengan jentikkan jari, Rudolf-ku yang manis, aku bisa melakukannya untuk Heinz!” ujarnya.

Oh, tidak. Ketakutan melahapku sampai habis. Pikiranku sudah dipenuhi gambaran mengerikan itu. Dengan tatapan menerawang jauh ke depan sana, aku melangkahkan kakiku lagi. Engsel berdecit, pintu semakin terbuka lebar seiring kemunculanku di sana. Kedua orang itu sama terkejutnya. Mereka terbelalak ketika menyadari kehadiranku.

“Menjijikkan. Kau Menjijikkan, Marie!” bisikku penuh penghakiman.

Wajah Rudolf merah padam. Rahangnya mengeras. Ia membuat Marie merintih karena kerahnya yang semakin mengetat. Gejolak-gejolak itu sempat ada pada dirinya. Rudolf mengalami bimbang. Berulang kali ia melirikkan matanya ke arahku, membayangkan ribuan kemungkinan buruk yang akan terjadi.

Langit berubah gelap, gemuruh menyambar, seakan ia tahu apa yang tengah kami alami, sebuah ketegangan yang mencekam. Rudolf menghela napasnya dengan lelah. Tangannya melonggar, akhirnya terlepas. Rudolf berakhir terduduk dengan pasrah.

“Lakukan sesukamu, Marie,” bisik Rudolf.

Tawa yang durjana, Marie mendapatkan apa yang ia inginkan. Hanya untuk itu ia membawa Rudolf ke atap. Setelahnya Marie langsung pergi. Ia hendak berjalan menuju pintu, ke arahku yang berdiri menghalanginya. Marie menabrak tubuhku dan melengos begitu saja.

“Kenapa, Rudolf?” tanyaku dengan lirih.

Rudolf tidak menggubris. Ia menyalakan api dan memantik rokoknya. Lagi-lagi ia mengabaikanku. Lagi-lagi ia menanggung semuanya sendiri. Itu dia, sikapnya yang seperti itu yang membuatku membencinya.

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang