Prolog

265 63 20
                                    

Hai?
Apa kabar?
-
Udah lama kita gak ketemu
-
Sedikit prolog ini mungkin bisa membantu kalian untuk ikut merasakan apa yang Aksara rasakan.
-
Happy reading..

Lelaki 17 tahun itu, tengah menyibukkan dirinya menatap sebuah objek

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lelaki 17 tahun itu, tengah menyibukkan dirinya menatap sebuah objek. Matanya indah. Indah sekali, cahaya jingga yang memantulkan dirinya ke-arah bola mata cantik berwarna brown, dengan kelopak yang di balut oleh bulu mata yang cukup melentik. Menambah ke indahan dalam caranya memandang. Ia menatap fokus pada sebuah canvas berukuran sedang dihadapannya, jari-jarinya menjepit kuat sebatang kuas. Mencolek beberapa tetesan warna pada palet ditangan kirinya.

Dengan diiringi suara ombak yang bergemuruh. Angin kencang ikut melintas di-helaian rabut ikalnya. Membuat ribuan helai rambut itu bergoyang mengikuti irama angin.

Masih dengan situasi yang sama, langit dan laut biru yang menyatu. Percikan air laut yang diombang-ambing gelombang ombak, awan yang ikut berkerumun melengkapi dataran langit yang kosong. Juga banyaknya kawanan burung yang ikut menyertai pandangannya saat itu, membuat sebuah moment terbaik yang belum pernah ia temukan sebelumnya.

Moment cantik itu berhasil melepaskan semua bayangan kelabu dalam perjalanan hidupnya. Bahkan, sebelumnya, semua terasa begitu kosong tapa hunian. Selain bayang-bayang yang ikut menyertai langkahan kecil dalam perjalanannya, Aksara.

"AKSARA! SAMPAI KAPAN KAMU NGELAKUIN HAL YANGGAK ANFAAT KAYA GINI TERUS?, HAH?!" Bentak Marco. dengan nada bicara yang cukup tinggi. Seraya mengambil paksa canvas milik anakanya itu. melemparkannya keras ke-arah permukaan pasir ditepi pantai. Merasa tak puas, ia justru menginjaknya hingga hancur berkeping-keping. tanpa memikirkan perasaan anaknya sekali pun.

Dia Aksara. Aksara Hanavi Algara. Ia yang memiliki hobi melukis itu, selalu tidak di-dukung oleh kedua orang tuanya. Lantaran keduany hanya mengharapkan Langit menjadi anak yang bisa membanggakan dengan prestasi-prestasi di-sekolah. Bukan dengan coretan-coretan yang bagi mereka itu hanyalah sebuah hiburan semata. Padahal bagi Langit, melukis itu sendiri sudah menjadi bagian dari hidupnya.

"Kalo ayah gak bisa buat Aksara bahagia, setidaknya jangan ngusik kebahagiaan Aksara, YAH!" Ia membantah. Memasang raut wajah kesal.

"Kamu ini anak gak tahu diri ya! Kapan kamu bisa bikin ayah bangga? HAH!? Kerjaan kamu yang gak jelas kaya gini, cuman bakal ngerusak masa depan kamu!" Sorotnya, lagi. Sedikit menurunkan nada bicaranya.

"Mau Ayah apa sih?!"

"Fokus sama sekolah kamu, tinggalin kerjaan kaya gini! Hidup kita udah susah Aksara!"

"Hm, anda hanya bisa mementingkan perasaan anda sendiri!"

"Kamu gak boleh ngomong gitu sama ayah kamu, Aksara!" Sanggah Karin dari kejauhan. Menghampiri keduanya.

"Masa depan ada ditangan Aksara juga buk, Aksara berhak memilih jalan Aksara sendiri,"

"Kamu jangan egois, nak."

"Udahlah buk, kalian berdua sama aja, sama-sama gak bisa ngedukung impian Aksara, gak bisa ngertiin perasaan Aksara. Yang bisa ngertiin cuman Salma!"

Ia pergi meninggalkan tempat itu. Dengan perasaannya yang benar-benar campur aduk.

Prolog segini mungkin cukup, penasaran?, next ke coretan pertama dari Aksara!-Jangan lupa vote! Sebagai tanda jika kalian bagian dari penyemangat Aksara!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Prolog segini mungkin cukup, penasaran?, next ke coretan pertama dari Aksara!
-
Jangan lupa vote! Sebagai tanda jika kalian bagian dari penyemangat Aksara!

-
@ar.muzadie
@wp_kopiseduh

Lukisan AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang