Pasien No. 21

Mulai dari awal
                                    

Sial sungguh sial.

Sore itu sehabis hujan jalanan ibu kota menjadi sangat padat dan jadilah dia membuat Rona harus menunggu.

"I need to tell you something before you hear anything weird from people at the clinic," terang Rona yang sudah selesai mandi dan hanya mengenakan baju mandi kebesaran milik Beka. Wanita itu tengah mengeringkan rambutnya dan berdiri beberapa langkah dari Beka yang duduk di depan meja rias.

Iya, meja rias.

Kamar Beka kini memiliki sebuah meja rias alih-alih meja belajar yang dulu bertahun-tahun lamanya sudah menemaninya semasa kuliah. Lemari pun sudah dibereskan sesuai janjinya pada Rona. Ditambah beberapa furnitur baru lain agar Rona merasa lebih nyaman menginap di tempatnya.

Kembali pada Rona.

Kekasihnya itu masih mengusap kepalanya dengan handuk saat melanjutkan ceritanya.

"Tadi Issa mampir. Katanya sekalian lewat karena mau ketemu klien di daerah Gading. He brought food and cakes, jadi gue tadi makan malam pake makanan dari Issa. Your food was great. Thank you."

Beka sebenarnya tahu soal kedatangan Issa karena mendapat laporan langsung dari Bang Ramli. Lengkap sampai ke jenis mobil dan plat nomor polisinya. Ditambah, saat membereskan kotak bekal Rona tadi, dia melihat ada bungkusan asing yang tidak dikenalinya.

Ah, that damn guy. Jadi sekarang dia udah berani mampir ke klinik?

"Ingetin gue lagi, Ron. Issa tuh siapa, ya?"

Beka menonaktifkan ponsel kerjanya tanpa membaca puluhan chat dari kliennya lalu memasukannya ke laci, sementara ponsel pribadinya diubah ke airplane mode. Dia kemudian menyilangkan kakinya sambil bersandar di meja rias. "Do I know him?"

"Remember the guy I was talking about? Yang gue bilang partner seksual gue ... namanya Issa. We used to be classmates di ULILA and he moved to Singapore to pursue his passion. He's a graphic designer now."

Dengan suara pelan, Rona melanjutkan, "dia punya saudara kembar perempuan, namanya Avery, dan dia sahabat gue."

Berlagak pilon, Beka mengangguk sambil membulatkan mulutnya. "Avery tau tentang kedekatan lo sama saudara kembarnya?"

Rona menggeleng.

"Tadi dia ngajakin nginep, tapi gue tolak. Soalnya gue udah janji sama lo akan nginep di sini setiap weekend. Gue bisa nemuin dia weekdays, tapi ... my weekend is fully booked for you," lanjut Rona dengan suara pelan. Wanita itu memalingkan mukanya dan Beka mempertaruhkan semuanya pasti Rona gengsi mengucapkan hal itu. "Gue bilang nggak bisa nginep karena masih haid."

"Makasih ya, Ron. Gue jadi ngerasa bersalah banget udah telat jemput."

"That's not the only reasons he came to the clinic," tambah Rona yang sepertinya sudah berani menatap balik pada Beka. "Issa juga ngasih gue hadiah dan minta gue foto pake hadiah dari dia. Setelah gue liat lagi, kayaknya gue mau kasih liat lo dulu sebelum ngasih liat ke Issa."

"Kenapa begitu? Emang hadiahnya apa?"

Rona mencebik.

"L, lo kan pacar gue, Beka!" kata Rona ketus. "Emangnya lo mau ngeliat gue kirim foto telanjang ke cowok lain duluan?"

"Telanjang? Dia ngasih apa, sih? Kok foto telanjang?" Beka benar-benar tidak paham, meskipun dia bisa menjawab pertanyaan Rona—tentu saja dia tidak rela! Kalau bisa, dia tidak mau si cowok brengsek itu menyentuh Ronanya lagi.

Oh, shit ... 'His Rona'.

Menyebutkan itu membuat ada sensasi baru yang menggelitik dan Beka menyukai sensasinya.

When The Room Gets Too HotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang