24. KUTEMUI MULYONO

Start from the beginning
                                    

"Ada apa? " Pertanyaannya seperti tidak pernah ada hubungan antara kami. Tapi ini terjadi karena aku mengabaikan semua surat suratnya. 'Tidak apa apa'pikirku.

"Tidak apa apa juga pak" Kataku dan duduk di kursi agak jauh dari mejanya. "Pertama, Robby minta maaf atas pertemuan kemaren itu di Resto. Ke dua, Robby juga minta maaf sudah mengabaikan surat surat yang Bapak berikan ke Satpam kampus ku. Robby datang bukan untuk menggangu"

"Hanya itu? "

"Ya hanya itu pak. Kalau begitu Robby pulang. Terima kasih sudah memberikan  waktunya" Kataku dan berdiri hendak pergi.

Mulyono tidak mencegahku hingga aku sudah memegang hendel pintu.

"Tunggu" Suaranya.

Aku berdiri di pintu yang masih tertutup tapi tidak menoleh.

Tubuhku di dekapnya. Kepalaku dicumnya.

"Mas tau Robby, kau masih ada perasaan sama mas mu ini. Mas tau itu" Katanya dan membalikan tubuhku hingga gitar yang kupegang menimbulkan suara karena terantuk ke pintu.

"Tengok wajah mas" Katanya. Aku pun melihatnya. Air mata di pipinya menetes hingga celah bibirnya.

Kusapu air mata di pipinya. Tanganku di tahannya menempel disana. Tidak tahan melihat tangisnya kuletakkan gitarku lalu memeluknya erat. Kutelungkupkan wajahku di dadanya. Kuhirup bau badan yang telah lama hilang dari hidupku.

Kepalaku dipegangnya, lalu mencium bibirku.

"Mas mau bicara banyak Robby. Tinggallah sebentar sampai karyawan pulang"

Aku menoleh gitarku.

"Masih mengamen? Kedai mu gimana?"

"Ibu menyuruhku menjualnya. Sekarang Robby mengamen untuk membuang bosan" Jawabku. "Ibu hanya menginginkan Robby fokus kuliah. Tapi faktanya Robby tidak bisa berdiam diri karena sudah terbiasa sibuk"

"Ibumu tidak menyukai mas Robby"

"Tidak usah diambil hati. Toh Ibu tidak tiap hari bersama Robby."

Mas Mulyono menarik tanganku ke arah mejanya lalu mendudukan ku di bangkunya dan dia duduk di atas meja.

Dengan sedikit nakal, tangan kananku meraba kontol dibalik celananya.

"Milik sejuta umat" Kataku membuatnya turun dari meja. Bibirku diciumi. Tangannya menurunkan retsleting celanaku dan merogoh kontolku.

Ketika kontolku hendak di isapnya, ku cegah dengan memegang kepalanya.

"Kenapa" Tanyanya.

"Ini adalah kantor mas. Robby tidak mau melakukannya disini. Robby takut tiba tiba ada yang masuk" Kataku sambil mengancing kembali celanaku. "Robby pamit dulu mas, mau ngamen"

"Tidak usah sayang. Sore kita jalan ya"

Aku menggeleng.

"Tujuan Robby, hanya menunjukkan bahwa Robby masih perduli."

"Mas merindukanmu Robby"

"Robby juga. Tapi biarkan waktu yang telah memisahkan kita berjalan seperti yang berlalu"

"Maksudmu apa sayang"

"Waktu yang bisa membiarkan kita hidup masing masing. Kalau mas masih ingin sama Robby, akan Robby layani tapi hanya Sabtu dan Minggu. Akan Robby berikan kepuasan, Robby milik mas selam 2 hari itu. Tapi... "

"Tapi apa Robby... "

"Ganti uang penghasilan Robby mengamen selama 2 hari itu. Karena biasanya Hari sabtu dan minggu penghasilan  Robby meningkat"

"Dengan kata lain, kau pengumuman bahwa kamu adalah bayaran"

Aku mengangguk.

"Karena Robby tau, mas juga membayar orang yang mas sukai  demi kepuasan. Dan Robby yakin, tidak ada laki laki setampan Robby yang mas sukai, makanya selalu datang ke Robby. Maaf bukan karena sombong, tapi kenyataan. Karena bila mas menemukan semacam Robby, mas tidak akan datang mengirimi surat untuk jumpa dengan  Robby"

"Kasar sekali kau sayang"

"Kenyataan hidup mas. Tapi Robby berterima kasih atas segala apa yang mas lakukan ke Robby. Uang yang dulu mas berikan, masih utuh di tabunganku, itu tidak akan pernah Robby lupa. Itu sudah ku anggap sebagai bayaran beberapa kali kita melakukannya, karena Robby tidak mau ada hutang budi"

"Tapi Cinta.. "

"Cinta tidak bermakna bagi Robby, sakit yang Robby derita itu hanya karena cinta. Sudah berulang kali Robby katakan, jangan  pernah mencintai kalau nafsu yang dibesarkan."

"Untuk apa kau datang kemari? "

"Memberitahukan agar mas tidak usah sering sering datangi kampus Robby"

"Kau mencintai komandan pastinya. Melihat kalian seperti tidak bisa dipisahkan"

"Sama seperti mas. Sudah kukatakan pada Dia untuk membayar ku bila ingin denganku. Dia mau silahkan, akan Robby layani"

Mulyono terdiam.

Pintu yang terbuka menampakkan sesosok pria si Manangar Hotel yang dulu dikenalkan Darwis kepadaku.

Dia memperhatikan ku. Mungkin mengingat ingat siapa aku.

"Baik Pak Mulyono, aku pamit dulu" Kataku. Kuambil gitarku dan aku pergi dari sana.

Tujuaanku sudah kesampaian untuk mengubur rasa cinta yang masih ada dalam  hatiku.

****









MY LIFE BAG. 2Where stories live. Discover now