"Tari, ada telepon masuk."

Aku yang saat itu tengah mengambil air langsung menoleh ketika suaranya menyapa telinga. Memicingkan mata berusaha membaca sebaris nama yang diperlihatkan Park Ji-young di meja makan. Ah, tidak jelas.

"Siapa?"

"Han Seungri?"

Degh!

Sial, aku melupakan pacarku!

Dia menelepon pasti sudah pulang dan tak menemukan aku di rumah.

"Mhm... halo?"

"Kau di mana?"

Gosh... aku menelan ludah gugup mendengar suaranya yang terdengar menuntut. "Di rumah teman."

"Siapa?"

"Masih di sini, hanya beda lantai. Aku di unit 510. Kau tidak perlu kha—"

"Aku tanya kau di rumah siapa, Tari?"

"Temanku. Kau sudah pulang, ya?"

"Mhm."

"Sudah... makan?"

"Belum."

Bagai disiram air, aku membeku mendengar itu. Bodohnya aku tidak mempersiapkan apa-apa sebelum kemari.

"Masih lama? Aku ingin makan malam di luar bersamamu."

Bagaimana ini? Aku harus menjawab apa?

"Tari?"

"Ah, iya, aku sepertinya akan makan malam di sini. Eh-"

DEMI TUHAN APA YANG BARUSAN AKU KATAKAN???

Aku refleks menutup mulut, dan mendengus kesal saat kulihat Park Ji-young tertawa kecil beberapa meter di depanku. Dia pasti menguping.

"Undang saja dia ke sini."

Kujauhkan ponsel dari telinga walau Han Seungri sedang mengoceh di seberang sana, lantas berbicara pada laki-laki di hadapanku dengan pelan, bahkan nyaris tanpa suara agar tak sampai pada sambungan panggilan.

"Boleh?"

"Itu teman yang kau sebut malam itu, kan? Jadi, tidak apa-apa. Undang saja dan ajak makan bersama."

Tidak, dia pacarku sekarang.

Tapi aku juga tidak punya kuasa untuk mengoreksinya. Entahlah, aku merasa lebih baik hubunganku disembunyikan dulu. Selain keluarga dan teman dekat yang tahu.

Dan ya, pada akhirnya aku mengundang Han Seungri kemari. Selama menunggunya di luar, aku gugup setengah mati, karena saat dia bertemu Park Ji-young, saat itu juga kebohonganku terungkap. Bahwa aku sudah lama mengenalnya, bahwa hubungan kami tidak lagi sebatas artis dan penggemar.

Tapi faktanya, dia bersikap biasa saja saat akhirnya berhadapan langsung dengan Park Ji-young. Berbanding terbalik dengan prediksiku, dia sangat sok kalem dan terkesan seperti telah lama saling mengenal karena banyak mengobrol. Duh, aku saja masih merasa canggung padahal lebih lama aku dibanding Han Seungri. Aku kaget, jujur.

Selama makan, yang paling banyak berbincang adalah dua laki-laki itu, anehnya kenapa selalu nyambung. Entah hobi, olahraga, bahkan sampai ke kehidupan sehari-hari. Hanya aku yang menjadi pendengar di sana. Mau bergabung juga aku mana paham soal billiar, yang kutahu hanya basket dan sepakbola.

Acara makan itu berlangsung lebih lama dari dugaanku. Saat aku sibuk di dapur, kulirik dua pria matang itu sedang asik main PS bersama. Hal yang membuatku lagi-lagi menggeleng kepala tak habis pikir. Secepat itu mereka akrab?!

Lupakan soal mereka, aku harus bergegas menyelesaikan pekerjaanku karena malam semakin larut. Namun saat aku membilas gelas terakhir, Han Seungri tiba-tiba menjajari tubuhku. Aku praktis menoleh, sejak kapan permainan mereka selesai?

"Kau berhutang banyak cerita padaku."

"Huh?"

"Let's talk about it later. Sekarang, aku ingin pulang."

Mataku secara alami mencari keberadaan Park Ji-young, namun dia tidak ada. "Jiyoung?"

"Mandi."

"Kalau begitu tunggu sampai dia selesai, kita harus pamit."

"Oke."

Karena pekerjaanku sudah selesai, kami memilih menunggu di sofa ruang tengah. Duduk berdampingan namun sibuk dengan urusan masing-masing. Aku membaca majalah yang kebetulan ada di sana, sementara pacarku, sibuk dengan ponselnya yang entah sedang apa. Namun tangannya yang merangkulku tak berhenti memainkan ujung rambutku barang sebentar.

"Bagaimana hari ini?" Bosan dengan majalah, aku akhirnya berinisiatif mengajaknya berbicara. Lagipula, berada dalam keheningan malah membuatku mengantuk.

"7 dari 10."

"Kenapa tujuh?"

Sebelum menjawab, kulihat dia menarik napas panjang. "Ada sedikit masalah, tapi untungnya berhasil aku selesaikan."

Ingin bertanya masalah apa, tapi aku mungkin tidak akan paham. Aku tak memberi reaksi apapun selain menepuk-nepuk dadanya pelan.

"Kau sudah bekerja keras."

"Aku lelah, tapi aku ingin cepat menikahimu."

"Apa hubungannya, hei?"

"Bukankah aku harus meyakinkan ayahmu? Itu perlu kerja keras, Tari. Aku harus terlihat layak, agar ayahmu tidak memiliki keraguan sedikitpun saat aku melamarmu."

Han Seungri...

Sumpah! Sumpah demi Tuhan, aku lupa bahwa kami sedang tidak di rumah sendiri saat ini. Aku hanya terharu, dan tak berpikir dua kali saat menariknya ke dalam pagutan bibir yang memabukkan. Aku berharap, dia juga bisa merasakan cintaku lewat ciuman singkat ini.

"Maaf terlalu membuatmu berjuang sendirian untuk tujuan yang sama."

Tepat setelah itu, suara derap langkah terdengar. Kami sama-sama menoleh, dan aku dalam hati merasa lega karena Park Ji-young hadir setelah kegiatan tak terencana itu selesai.

Kami tak membutuhkan waktu lama untuk berpamitan padanya. Kurasa, Han Seungri betulan sudah lelah. Dia lebih banyak diam selama kami berjalan pulang, bahkan tak ada percakapan apapun saat kami berada di dalam lift.

Kupikir begitu, makanya aku tak mengajak dia bicara panjang. Saat kami tiba di depan pintu pun, aku yang membuka pin dan berjalan lebih dulu. Namun saat aku sedang melepas sepatu, dia tiba-tiba saja memelukku dari belakang. Aku yang sedikit terlonjak, hanya mampu menatapnya terheran-heran melalui ekor mataku.

"Tari..."

"Hm?"

"Kau... tidak mau melanjutkan yang tadi?"

Hah? Dia lupa kah kalau aku sedang datang bulan?!



###

| 23byeolbamm |

Cupcakes | JisungWhere stories live. Discover now