Chapter 06.

37.1K 3.6K 136
                                    

Malam semakin larut. Alera sedang termenung, menatap bulan yang sedikit tertutup awan, melalui jendela. Ia sedang memikirkan tentang... Untuk apa ia berada di sini? Ia juga sama sekali tidak bisa mengingat apa penyebab ia mati.

Apakah ia mati dibunuh? Kecelakaan? Atau bahkan... Masih hidup? Alera bingung. Kenapa ia tidak mendapatkan ingatan tentang penyebabnya masuk ke dunia antah berantah ini?

Angin berhembus membuat tubuh Alera menggigil. Gegas wanita itu kembali masuk ke kamar, kemudian menyusup masuk ke dalam selimut yang menutupi tubuh suaminya. Malam ini, Alera memejamkan mata, berusaha mencari ketenangan dengan memeluk erat tubuh hangat suaminya. Hingga, lama-kelamaan kesadaran Alera menipis, memasuki alam mimpi.

Setelah ia terlelap, tanpa disadari ternyata Lendra tidak tidur. Matanya terbuka, menampilkan netra yang semula berwarna hitam telah berubah menjadi semerah darah. Ia menatap sang istri yang sedang memeluknya kemudian membalas pelukan itu dengan posesif. "Tunggu saja, kita akan mengakhiri semua ini," bisiknya dengan makna tersembunyi.

~o0o~

Pagi-pagi sekali. Suara bising dengan rumah yang terasa bergetar mengganggu tidur nyenyak dari Alera dan Lendra. Sedangkan Enzi hanya terlihat mengerutkan dahi dalam tidurnya.

"Alera, Lendra! Keluar kalian!" pekikan dengan iringan teriakan dan sorakan itu membuat Alera dan Lendra saling pandang penuh kebingungan.

"Apakah terjadi sesuatu?" tanya Lendra.

Alera menggeleng tak tahu. "Entahlah, Mas. Padahal matahari bahkan belum muncul, tapi sudah dibangunkan dengan cara seperti ini," keluhnya.

Lendra tersenyum. "Sudahlah, tidak apa-apa. Lebih baik kita temui mereka dulu."

Alera hanya mengangguk seraya bangkit dari tempat tidurnya. Ia berjalan keluar kamar diikuti oleh Lendra. Saat tiba di depan pintu keluar, gedoran serta teriakan warga semakin terdengar memekakkan telinga.

"Mas, kamu saja yang buka. Aku takut," bisik Alera.

"Baiklah, kamu diam di belakangku!" titah Lendra yang langsung dituruti sang istri.

Tak membuang waktu lagi, Lendra membuka pintu itu sehingga sepasang suami istri tersebut dapat melihat dengan jelas kerumunan warga dengan obor dan garpu rumput di tangan mereka.

"Ada apa ini?" tanya Lendra.

"Bapak-bapak dan ibu-ibu. Coba kalian lihat suami Alera. Benar 'kan apa yang saya ucapkan? Lendra memang terkena kutukan! Seluruh tubuhnya dipenuhi bintik merah bahkan wajahnya pun juga," ucapan lantang dari seorang wanita membuat semua orang mengalihkan atensi mereka.

Tak terkecuali Alera dan Lendra yang dapat melihat dengan jelas jika wanita tersebut adalah istri pemimpin daerah yang berdiri di posisi paling depan bersama dengan sang suami yang tak lain adalah pemimpin daerah itu sendiri.

"Ya, Nyonya benar. Pria itu terkena kutukan sehingga seluruh tubuhnya memiliki bintik merah," balas seorang warga yang disetujui warga lainnya.

Sekarang Alera mengerti arah permasalahan mereka. Seketika rasa geram itu muncul di hatinya. Ia menatap nyalang ke arah Lena. "Wanita ini!" batinnya geram.

"Ayo kita usir mereka dari sini!" seru seorang warga membuat Alera melototkan mata kaget.

"Hei-hei. Kalian tidak bisa mengusir kami. Ini rumah dan tanah kami! Lagi pula kenapa kalian ingin mengusir kami dari sini?" kesal Alera.

"Apa kau buta, Alera? Suamimu terkena kutukan!" ucap sang pemimpin daerah.

"Atas dasar apa Anda menuduh suami saya, Tuan? Karena bintik-bintik ini?" tanya Alera seraya menarik tangan sang suami, memperlihatkan cacar pada tangan itu. "Dengar ya! Ini hanya terkena penyakit cacar. Dalam seminggu pasti akan sembuh!" lanjutnya menjelaskan.

"Cacar? Penyakit apa itu? Sudahlah Alera. Tidak perlu mengucapkan penyakit yang tidak pernah ada hanya untuk membela suamimu. Terima saja jika Lendra terkena kutukan dan pergilah dari sini!" ucap Lena dengan makna mencemooh.

Emosi Alera semakin tersulut. Wajahnya memerah dengan tangan terkepal kuat. Tak lupa matanya ikut melotot. "Woi Anjing. Lo tolol banget sih bangke. Ini itu cacar, bukan kutukan-kutukan ga jelas. Dasar orang zaman dulu, pemikirannya kulot!" makinya. Alera bahkan tidak lagi menggunakan bahasa formal yang digunakan pada zaman ini. Kata-kata mutiara yang semasa remaja sering ia ucapkan juga ia keluarkan.

"Dia mengatakan apa? Kenapa bahasanya sangat aneh?" tanya Lena. Ia tahu jika Alera memakinya, karena ia jelas dapat menangkap ungkapan 'bodoh' dari mulut Alera.

"Sepertinya Alera juga terkena kutukan. Dia baru saja menggunakan bahasa iblis," ucap seorang warga seraya bergidik ngeri.

"Kau benar! Ayo kita usir mereka dari sini!" sahut warga lainnya seraya mengacungkan kayu.

"Anjing! Goblok banget, bangsat!" kesal Alera.

Tidak mengindahkan semua ucapan Alera yang terdengar semakin aneh, para warga segera menyeret sepasang suami istri itu pergi dari rumahnya tak lupa pula seorang warga turut membawa Enzi yang masih tidur untuk mengikuti kedua orang tuanya.

Kini, di sinilah mereka. Di sebuah hutan yang terletak cukup jauh. Setelah menyeret mereka hingga sejauh ini, para warga berlalu begitu saja. Alera hanya bisa berjongkok seraya menenggelamkan wajahnya di atas tangan yang bertumpu pada lututnya.

Isak tangis lirih mulai terdengar, membuat Enzi dan Lendra juga turut merasa sedih. Sepasang ayah dan anak itu berjongkok di kedua sisi tubuh Alera kemudian memeluk tubuh wanita itu erat. "Maafkan aku. Karena aku kita terusir," bisik Lendra.

"Ibu jangan menangis. Kita bersama-sama di sini," bujuk Enzi.

TBC.

Maaf kata-kata kasarnya🙏

Farmer's Wife (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang