“Ya Tuhan, Aki kangen banget sama Lili!” Saking gemasnya terhadap sang cucu, Gavin sampai mencium seluruh permukaan wajah yang mirip dengannya bertubi-tubi. Awalnya Lili senang diperlakukan seperti itu oleh Gavin, tetapi lama kelamaan batita itu kesal.

“Aki, yepasin Yiyi. Jigongna Aki nempel semwa di mukana Yiyi!” gerutu Lili, berusaha menjauhkan wajahnya dari Gavin. Meskipun itu sebuah tindakan yang percuma sebab Lili berada dalam gendongan aki-nya.

Gavin tertawa. Saat Lili benar-benar sudah ditingkat paling akhir kekesalannya, barulah ia berhenti mengerjai cucu perempuannya sebelum Lili mengamuk dan merajuk. “Adam, kapan kamu kasih Papa cucu lagi? Papa nggak sabar buat gendongnya. Kalau bisa cowok.”

Uhuk! Uhuk!

Pertanyaan asal dari Gavin itu membuat Adam tersedak air liurnya sendiri ketika mendengar pertanyaan sang Papa. Rupanya Gavin mulai terang-terangan.

Semua orang yang ada di ruang tengah panik ketika batuk Adam belum juga usai. ART datang membawa satu gelas air yang sebelumnya diperintahkan Redyna. Ibu empat anak itu segera menyerahkan air minum kepada putranya. “Minum, Dam.”

Cira membantu Adam, tangannya dengan pelan menepuk-nepuk punggung sang suami. Setelah batuknya reda, Adam lekas menatap tajam ke arah Gavin yang tampak santai. Pria paruh baya itu tidak merasa bersalah setelah membuat putra sulungnya hampir mati tersedak air liur. Sial!

“Ngebuatnya sih gampang, tapi ‘kan belum tentu sekali jadi, Pa,” cetus seseorang yang baru saja turun dari lantai dua. Dia terlihat tampan dan segar dengan pakaian santainya.

Vian semakin mendekat dan mulai mendaratkan bokongnya di sisi sang Abang yang masih kosong. “Yang gue bilang bener ‘kan, Bang?” Lengannya merangkul Adam ala pria.

Tak perlu anggukan, karena Adam sudah membenarkannya dalam hati.

“Kenapa nggak Papa buat lagi?” Niatnya bercanda menanyakan hal itu. Vian juga merasa kasihan kepada Adam yang dipaksa untuk memiliki anak lagi, terlebih harus anak laki-laki. Kurang lebihnya Vian tahu masalah yang terjadi antara papa dan abangnya. Ini semua menyangkut Zhafir Group dan penerusnya.

“Andai adiknya Zaky nggak keguguran.” Tanpa sadar Gavin mengungkapkan sebuah rahasia yang hanya dirinya dan Redynalah yang mengetahuinya selama ini.

“MAS!!!”

“APA?!”

Tersadar dengan apa yang ia katakan, tubuh pria paruh baya itu menegang dan gemetar saat melihat sang istri yang menatapnya horor. Sial, Gavin kelepasan!

“Maksud Papa apa barusan?!” Ketiga putranya kompak bertanya dengan pertanyaan yang sama. Gavin semakin dibuat sulit untuk menjawab.

Ponsel Gavin berdering nyaring dan itu sangat membantunya untuk kabur dari hadapan putra-putranya. “Ekhem, Papa angkat telepon dulu, ini penting. Ayo, Sayang.” Tidak lupa ia membawa Redyna bersamanya.

Gavin kasihan dengan istrinya jika ditinggal begitu saja di ruang tengah. Bagaimanapun ini salah Gavin yang dengan bodohnya membongkar rahasia mereka, ia tidak akan membiarkan Redyna menjadi objek sasaran dari pertanyaan putra-putranya.

“Yang Papa bilang itu apa, Bang?” Wajah Zaky sudah mendung. Sepasang matanya menatap nanar Adam dan Vian secara bergantian. Zaky beranjak mendekati kedua abangnya.

Sama halnya Zaky, Adam pun merasakan demikian. Pria itu sudah dua kali dikhianati oleh papanya. Berbeda dengan Vian yang terlihat tenang tetapi sudut hatinya terasa seperti dicubit kuat.

Vian memegang lengan Zaky, sedangkan netranya menatap serius pada kedua bola mata yang mulai basah itu. “Gue yakin kita nggak salah denger. Lo ... hampir punya adik, Za.”

Love Very Much [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang