63. Lingkaran Setan

Mulai dari awal
                                    

"Siapa yang merayu Bayu?" Tanyaku dengan nada meninggi.

Bukan kali ini saja aku mendengar desas desus seperti ini. Aku tidak mengerti, apa yang melatari kehadiran berita miring itu?

"Semua orang juga tahu, Ray."

Aku sudah membuka mulut untuk membalas, tapi kehadiran Kang Iman yang tiba-tiba memotong ucapanku.

"Ngomong apa saja sama Bayu?" Todongnya.

Aku menarik napas lelah. Ini kantor, tapi kenapa drama yang ada melebihi drama di SMA?

"Bayu nanya gimana pekerjaanku selama sebulan ini dan aku jawab apa adanya."

"Yakin? Bukannya malah ngadu yang enggak-enggak sama Bayu?" Sindirnya.

"Kalau Bayu menegur Kang Iman, mungkin baiknya Kang Iman introspeksi," balasku.

"Ray, kamu tuh masih probation tapi sejak awal selalu cari masalah."

Aku mengepalkan tangan di sisi tubuh untuk menahan emosi yang meledak. Jika keadaannya seperti ini, aku tidak yakin bisa bertahan selama dua bulan ke depan.

"Yaya."

Panggilan itu menyentakku. Aku menoleh dan mendapati Harris berdiri tidak jauh dariku. Entah sudah berapa lama dia di sana, kalau melihat dari raut mukanya yang keras dan seperti ingin menghajar Kang Iman, aku yakin Harris mendengar terlalu banyak.

"Aku balik dulu," ujarku. Tanpa menunggu balasan, aku berlalu dari mereka dan menghampiri Harris.

"Oh, simpanan om-om ternyata."

Ucapan Siska membuat Harris berhenti melangkah. Aku menahan lengannya, mencegahnya agar tidak menambah masalah.

Harris memukul setir saat hanya ada kami berdua di mobilnya. "Seriously? Kamu bekerja dengan orang-orang seperti itu?"

Aku tertawa miris. "Aku enggak tahu seperti apa rekan kerjaku saat wawancara."

"You waste your time."

I know that. Thank you for stating the obvious.

"Akan ada banyak omongan miring soal kita, aku harap kamu tidak memasukkannya ke hati," ujar Harris.

Sekali lagi, aku tertawa miris. Selama ini aku sudah menyadari risiko itu tapi tidak peduli. Selama ini aku percaya pada cintaku kepadanya sehingga omongan miring yang ditujukan kuanggap angin lalu.

Meski aku ragu akan masa depanku dengan Harris, aku tidak pernah membiarkan omongan miring mengaburkan keputusanku.

Harris menghentikan mobil di depan rumah. Dia tidak segera turun, membuatku ikut berada lebih lama di dalam mobil bersamanya.

"Aku harus balik ke Jakarta malam ini. Besok malam, aku ada penerbangan ke Melbourne." Hatiku mencelus saat mendengarkan perkataannya. "Akhir pekan ini, aku sudah pulang. Aku mohon, ketika aku menemuimu lagi, kamu sudah mengubah keputusan."

Aku menatapnya lemah. "Apa yang kamu cari dariku, Mas?"

Harris mengulurkan tangan dan mengusap pipiku. "Aku tidak mencari apa-apa, Sayang. Aku hanya mencintaimu dan kamu satu-satunya yang aku inginkan untuk menghabiskan sisa umurku."

Lidahku mendadak kelu, karena di dalam hati, aku juga menginginkan hal yang sama dengan Harris.

Aku memejamkan mata ketika Harris mengecup keningku. Lama dia berdiam di sana, sebelum melepaskanku dan menenggelamkanku ke dalam pelukannya.

"Kamu harus ingat, aku mencintaimu. Selalu."

Untuk pertama kalinya, aku membalas pelukan Harris.

***

Marthin: Hai, Ray. Apa kabar? Mungkin kamu kaget menerima pesanku. Kalau kamu ada waktu, aku mau bertemu. Ada yang harus kita bicarakan.


Rasanya begitu canggung bertemu dengan Marthin. Pun saat menerima pesannya semalam. Butuh waktu lama untuk menimbang apakah aku ingin menerima ajakannya untuk bertemu?

Pada akhirnya, aku menerimanya. Aku tidak akan bisa tenang jika selamanya menghindari Marthin. Selama ada masalah menggantung antara aku dan Marthin, aku tidak akan bisa mengambil keputusan terkait hubunganku dengan Harris.

"Kamu sudah ketemu Papa lagi?" Tanya Marthin. Aku bersyukur Marthin tidak berbasa basi sehingga bisa membuat situasi canggung ini segera berakhir.

Aku mengangguk.

"Kamu kembali padanya?"

Lama aku meneliti Marthin, mencoba membaca air mukanya. Marthin tampak berbeda. Seolah waktu bergerak cepat dan membuatnya jadi dewasa. Aku belum pernah bertemu sosok Marthin yang seperti ini.

"Kamu mengizinkanku bersama ayahmu?" Aku balas bertanya.

Marthin tertawa kecil, tapi mampu membuatku terkejut karena tidak menduga akan mendapat tanggapan seperti ini.

"Memangnya aku bisa apa?" Marthin balik bertanya. Aku sengaja bungkam, memberi kesempatan kepada Marthin untuk menuangkan semua isi hatinya. "Jujur, aku masih belum bisa terima. Kenapa harus Papa, Ray?"

Aku sudah membuka mulut tapi Marthin mendahuluiku.

"Kamu enggak perlu menjawab. Aku sudah dapat jawabannya dari Papa." Sekali lagi, Marthin tertawa. "Kalau boleh jujur, aku marah. Tapi setelah depikir-pikir, aku marah pada diriku sendiri. Kamu sudah memberiku kesempatan tapi aku menyia-nyiakannya. Sementara Papa..."

Kembali aku terdiam, menunggu Marthin menyelesaikan ucapannya.

"Papa pria yang selama ini kamu cari, bukan aku."

"Aku enggak bermaksud menyakitimu," timpalku.

"Aku tahu."

"Tapi aku menyakitimu."

Marthin menggeleng. "Aku enggak bisa mencegah kamu akan jatuh cinta pada siapa, termasuk Papa. Aku ingin Papa bahagia dan kalau yang bisa membuat Papa bahagia itu kamu, aku enggak akan menghalangi."

Jantungku berdebar kencang ketika mendengar penuturan Marthin. Aku menunggu setiap patah kata yang keluar dari mulutnya.

"Beri aku waktu untuk bisa mencerna semuanya. Bukan karena aku tidak bisa menerima hubunganmu dan Papa. Aku butuh waktu untuk diriku sendiri." Untuk kali pertama, Marthin tersenyum tulus kepadaku.

Rasanya seperti bersama sosok asing, bukan Marthin yang selama ini kukenal. Aku mencoba membaca air mukanya, mencari tahu perasaan Marthin yang sebenarnya. Hanya ada ketulusan yang kutemukan di balik sorot matanya.

"Thank you," bisikku.

"Don't hurt him."

Ucapan Marthin seolah mampu mengangkat beban yang tertinggal dan mengimpit dada. Meski aku belum tahu tindakan apa yang harus kuambil.

His Secret TemptationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang