Prolog

23 3 3
                                    

Sore ini, hujan terus mengguyur atap rumahku. Sejak sehabis adzan Dzuhur hingga kini jam kamarku menunjukkan pukul 5 sore, derasnya hujan tak menunjukkan tanda-tanda kapan ia akan berhenti. Kursi meja belajarku sengaja kudorong hingga mendekat dengan satu-satunya jendela di ruangan itu. Sembari duduk menyila di atas kursi, aku memandang keluar menatap dalam tetesan air yang terjun begitu bebas.

Aku menghela napas. Aku bosan. Aku benci hujan.

Entah mengapa, hujan terasa menjadi momok yang begitu menakutkan bagiku. Bukan karena aku takut basah, atau karena suara hujan yang menyerbu atap rumahku selalu membuat suara yang begitu khas, yaitu berisik. Melainkan, hujan seakan memberikan suasana menegangkan namun nyaman hingga semua memori, ketakutan, bahkan bayangan masa lalu dan masa depan pun mulai menggerogoti pikiranku.

Selalu saja begitu. Sore ini bukan pengecualian. Aku selalu dihantui ketakutan yang bahkan aku sendiri tak tahu mengapa aku harus menakuti hal tersebut. Rasanya sakit sekali, entah apa yang sakit. Aku ingin sekali melampiaskan emosi ini, entah pada siapa. Kadang terlontar dari mulutku nama-nama orang yang ingin sekali ku layangkan tamparan dan tinjuan mautku. Bahkan, hal yang sangat berdosa pun tak jarang terucap dari mulutku saat hujan, yaitu aku yang menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi.

Suara motor mengganggu lamunanku. Kuikuti pergerakan motor itu menembus hujan. Bayangkan, mereka tidak memakai jas hujan dan helm. Bodoh sekali, begitu pikirku. Tak sadar diri bahwa akulah yang bodoh disitu karena telah duduk tanpa jeda di kursi sambil memandang keluar jendela selama lebih dari 2 jam. Begitulah manusia, terutama jenis seperti aku, yang seolah paling benar, tetapi lautan kesalahan menyelimuti diri.

Kupandang kembali jam dinding kamarku, sekarang sudah mendekati pukul setengah 6 sore. Segera aku menyudahi agenda rutin saat hujan dengan mulai menutup jendala dan menggeser gorden hingga derasnya hujan hanya bisa kuindrai dengan telinga.

Gelap sekali. Aku lupa menghidupkan lampu. Astaga. Segera aku meraba-raba benda disekitarku dan bergerak perlahan menuju tombol sakelar lampu di samping pintu. Klik. Akhirnya netra ini kembali melihat dengan jelas. Namun, bukanlah keindahan. Melainkan ketidakteraturan kamar ini alias berantakan sekali. Barang-barang tidak pada tempatnya. Bahkan yang lebih parah, sampah sisa makanan dan jajanan 3 hari yang lalu masih tergelatak di lantai dekat meja. Astaga.

Aduh, siapapun yang melihat kamar ini pasti akan menjerit meronta tidak tahan. Aku? Tentu biasa saja. Hidup dengan ketidakteraturan dan serba berantakan ini sudah kualami lebih dari 5 tahun. Tidak heran, aku biasa saja melenggakan kakiku menuju tempat tidur untuk mengambil HP yang sedari tadi kuabaikan.

Inilah hidupku, seorang remaja laki-laki, berusia 16 tahun yang sedang menempuh pendidikan di salah satu SMA favorit di Kota Jambi. Kota ini kecil, tidak begitu banyak tempat penuh atraksi ataupun yang memikat mata. Aku pun begitu bosan dengan tata letak kota ini. Meskipun jarang sekali macet, tetapi tetap saja kota ini seakan sepi sekali. Perubahan selama lima tahun aku tinggal di kota ini tidak begitu signifikan. Kota Jambi hanyalah kota kecil di tengah pulau Sumatera yang seakan tidak terpikat akan kompetisi melawan ibukota provinsi lainnya untuk menjadi semakin maju.

Namun, disinilah aku selama bertahun-tahun menempa memori dan kenangan. Cerita ini melukiskan perjalanan Mufti Praharja dari tahun 2013, tahun di mana Mufti kecil mulai memasuki usia remaja. Saat di mana Mufti kecil penuh kepolosan memasuki dunia yang tak tahu akan sebegitu berpengaruh dalam hidupnya. Hingga ia menemukan asa, tempat untuk bertahan dan berjuang melawan entah itu keegoisan dunia ataupun keegoisan dirinya sendiri. 

Ialah Nayla Arindito, seorang yang selalu dikirimkan surat oleh Mufti Praharja ketika hujan turun dengan derasnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 12 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Surat untuk HujanWhere stories live. Discover now