PART 55

22.5K 2.5K 904
                                    

"Vanya, apapun yang kamu putuskan, Mama yakin itu udah yang terbaik," Ucap Berlin duduk di sofa panjang bersebelahan dengan Vanya.

"Tante--"

"Panggil Mama aja ih," Potong Berlin gemas. Dari tadi disuruh panggil Mama masih aja Tante-tantean.

"Beneran gak apa-apa?" Tanya Vanya memastikan. Pasalnya dia dan Berlin baru bertemu hari ini. Ada sedikit rasa tak enak hati kalau lancang begitu.

"Gak apa-apa dong, oh ya kayaknya kemarin Mama dapat surat sidang. Sidangnya besok?" Vanya mengangguk menanggapi.

"Mama bakal hadir?"

Berlin diam, hatinya tidak tega melihat putra kecilnya mendapat hukuman seperti itu. Vanya yang memahami perasaan Berlin pun menggenggam telapak tangan wanita tersebut.

"Mama menyesal ambil keputusan ini?" Tanya Vanya lagi, namun langsung dibalas gelengan oleh Berlin.

"Kasus kayak gitu udah harus dikasih ketegasan. Kamu benar memutuskan semua sini. Kalian korban, dan kalian punya hak untuk meminta keadilan. Tapi, untuk datang sebagai saksi, kami tidak bisa janji," Ucap Berlin.

Vanya tersenyum kecil, ada raut sedih di wajahnya. Kara dan Acel yang berada di samping mereka saling bertatap muka. Mata mereka berkaca-kaca mendengar percakapan antara Berlin dan Vanya sejak tadi.

Dua wanita berbeda usia itu sama-sama seorang Ibu. Berlin sebagai Ibu yang sudah mulai lanjut usia membutuhkan kasih sayang anaknya dalam masa tua ini. Lalu Vanya sebagai Ibu muda, dia harus terus memantau masa perkembangan putrinya yang akan menemaninya hingga dewasa nanti. Tepat sebelum ada orang yang siap mengambilnya sebagai istri.

Terasa hampa bagi Berlin sebab dimasa lampau dia yang merawat Gavin sampai anak itu tumbuh sebesar itu, namun dimasa tuanya ini waktu Berlin bersama Gavin akan terpotong lama. Tak ada kenangan yang bisa wanita itu kenang. Bahkan, Berlin sempat takut ajalnya datang disaat Gavin tidak ada disisinya.

"Kak, lo besok ikut sidang kan?" Tanya Acel berbisik. Tatapannya dan Kara masih saling memandang sedih.

Kara menggeleng bersamaan dengan tetesan air matanya, "Gue sama Bevan gak bisa hadir."

"Kenapa?"

"Besok gue ada kunjungan kampus ke kota sebelah beberapa hari. Baru ntar sore berangkat. Kalau Bevan, dia bilang besok ada jadwal operasi anak yang gak bisa ditunda dan diganti dokter," Jelasnya membuat Acel menggulung bibir.

"Kasihan, papanya Farel juga gak mau datang, Kak. Padahal sidang itu hari terakhir mereka ketemu sama keluarga mereka masing-masing," Sahut Acel sedih.

Mungkin bagi sebagian merasa ini secuil karma untuk mereka. Tapi sebagian lagi merasa ini sudah termasuk karma besar bagi mereka sebab orang tua dari mereka pun sudah tak ada yang mau angkat suara dan bertindak.

"Semangat ya, Cel, gue yakin di masa depan nanti hidup kalian akan lebih bahagia daripada sekarang."

"Semoga kak."

•••••

Bevan membawa Elen main di kamar Gavin. Suasana di dalam sana sangat berbeda jauh ketika Gavin masih berada di rumah ini.

Elen sangat bahagia bermain dengan Bevan, dia menggulung ke sana kemari saking nyaman dan ademnya kamar Papanya ini. Ngomongin Elen, sejak tadi anak kecil itu belum mencari keberadaan Gavin.

"D-DOK-TER!" Seru Elen mendudukkan diri ditengah kasur.

Bevan yang tadinya mau beranjak mengambil iPad di kamar jadi menghentikan pergerakan. Dia kembali duduk ditepi kasur.

HER LIFE - END (OTW TERBIT)Where stories live. Discover now