94

3.8K 550 22
                                    

Thalia menjalani beberapa terapi untuk menunjang kesembuhannya. Ia ditemani oleh dokter rupawan, sementara Nizzy mengamatinya dari balik pintu kaca.

"Aku bersyukur kemajuan akan kesembuhanmu benar-benar terlihat, Lia. Dengan begini kamu bisa beraktivitas seperti biasa." Ujar sang dokter senang.

Thalia tersenyum simpul, "Terima kasih dokter Nirwana. Tanpa bantuan Anda, aku tidak bisa mengalami kemajuan hingga hari ini." Jawab Thalia.

Dokter bernama Nirwana menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Istirahat dulu. Jangan terlalu memaksakan diri." Ucapnya kemudian.

Thalia menuruti perkataan sang dokter, ia berjalan perlahan menuju kursi roda, Nirwana membantu memapah Thalia. Aktivitas keduanya tidak lepas dari tatapan sang ibunda Thalia—Nizzy.

Nirwana mendorong kursi roda meninggalkan ruangan terapi, Nizzy dengan senyuman lebarnya menyambut putrinya. "Bagaimana terapinya?" Tanya Nizzy.

Nirwana tersenyum, "Saya sangat kagum dengan kegigihan nona Thalia, nyonya. Saat proses terapi berjalan, nona Thalia benar-benar mengikuti dengan sungguh-sungguh. Hasilnya juga sangat bagus." Jelas sang dokter.

"Terima kasih dokter. Anda selalu memantau perkembangan Thalia." Sahut Nizzy tulus.

"Sudah tugas saya, lagi pula sebagai teman sejawat, saya ingin nona Thalia segera sembuh dan bisa berkumpul bersama-sama lagi di rumah sakit ini. Tentunya bukan sebagai pasien, melainkan sebagai dokter." Balas Nirwana sesekali ia menatap Thalia dan tersenyum lembut padanya.

"Beruntung sekali kamu, Lia. Punya teman-teman yang perhatian sama kamu." Nizzy mengelus lembut puncak kepala Thalia.

Thalia hanya tersenyum simpul. "Mereka memang perhatian, tapi terkadang menjengkelkan." Thalia sekilas menatap tajam Nirwana dan membuat pria itu tertawa pelan melihat ekspresi Thalia.

"Lia!" Sahut seseorang yang datang tiba-tiba.

Ketiganya menoleh bersamaan melihat siapa yang datang dengan kehebohan. Thalia melebarkan matanya, "Gian."

"Selamat siang, Tante Nizzy." Ujar Gian sopan. Nizzy mengangguk tersenyum, ia tahu Gian sahabat karib putrinya.

"Syukurlah kamu sudah sadar. Bagaimana kabarmu?" Tanya Gian.

Thalia mengangguk, "Aku baik-baik saja. Sekarang proses pemulihan saja."

Nirwana berpamitan untuk melanjutkan pekerjaannya. Sementara ketiga wanita itu memutuskan untuk berjalan-jalan di taman rumah sakit karena Thalia ingin menghirup udara segar di luar rumah sakit.

***___***

Thalia tidak dapat memejamkan kedua matanya, ia menatap langit malam di dalam ruangannya. Nizzy pamit pergi sejenak untuk mengurusi bisnisnya—wanita itu berjanji tidak akan lama meninggalkan putrinya sendirian.

Thalia tidak ambil pusing, ia sudah terbiasa sendirian. Thalia memaklumi sesibuk apa ibunya saat berkutat dengan pekerjaannya. Kedua mata hitamnya menatap lekat bulan purnama yang bersinar tanpa ada gumpalan awan putih yang menutupi. Langit malam itu benar-benar cerah, taburan bintang bisa ia lihat dan hampir ia tidak menemui awan di setiap disisinya.

"Bagaimana keadaanmu disana, Ace. Aku merindukanmu." Gumam Thalia sendu.

"Apakah langit disana sama dengan langit disini? Penuh taburan bintang dan bulan bersinar sempurna." Gumam Thalia sambil melihat keindahan langit malam. "Apakah kamu juga melihat keindahan bulan purnama malam ini?" Dalam keheningan Thalia bertanya.

Thalia menghela nafas panjang, "Ace. Aku kangen."

Suara pintu terbuka, Thalia menoleh untuk melihat siapa yang datang.

I WANT YOU (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang