Tatapan Nagi sangat sayu. Ia memang biasa menunjukkan tatapan itu. Hanya saja yang saat ini lebih sayu dari biasanya. Reo refleks memegang belakang kepala Nagi.
"Luka Nagi sudah lama sembuhnya, Reo." Ujar Nagi malas.
Sejak Nagi cidera terakhir kali, Reo selalu refleks memeriksa belakang kepala Nagi. Meskipun kepala itu telah sembuh sekitar seminggu yang lalu.
Begitu khawatirnya Reo. Apalagi Nagi tinggal sendirian di apartemennya. Orang tua Nagi bahkan tidak pulang untuk sekedar memeriksa keadaan anaknya itu barang sekali sebulan atau sekali tiga bulan. Reo mewanti-wanti jikalau Nagi menyembunyikan luka fisik lain lagi.
Kemudian Reo menyentuh dahi Nagi. Mengusap pipi dan lehernya. Reo sampai memasukkan tangan ke dalam hoodie Nagi untuk memeriksa tubuh pria itu. Nagi hanya diam menerima perlakuan Reo. Pintu telah ia tutup rapat.
Manik ungu Reo membola. "Kau demam, Nagi." Itulah ucapnya saat selesai dari acara memeriksa tubuh Nagi tadi.
"Kenapa kau tidak memberitahuku? Ponselmu juga tidak aktif." Omel Reo.
Nagi mengusap lehernya. "Maaf, Reo. Baterai ponselku habis. Tubuhku terlalu lemas untuk sekedar mengecas ponsel. Ini aku paksakan untuk membuka pintu. Karena aku mendengar suara Reo."
Reo memandang Nagi. Nagi memang selalu melakukan hal yang ia anggap merepotkan demi Reo. Reo jadi merasa bersalah.
Reo membungkukkan diri. Tanpa perlu perintah dari Reo atau tanpa perlu Nagi bertanya, pemuda berambut ungu segera menggendongnya. Meski jarak ruang tamu dan kamar Nagi tidak terlalu jauh, setidaknya inilah cara Reo untuk meminta maaf karena selalu merepotkan Nagi.
Napas Nagi menerpa kulit leher Reo. Terasa begitu panas tak seperti yang biasa Reo rasakan. Nagi menjatuhkan kepalanya pada pundak sang sahabat. Ia sungguh lemas.
Kini berbicara pun menjadi hal yang semakin merepotkan untuk Nagi. Ia hanya memandang kulit leher yang putih itu. Tidak terlalu putih dari milik Nagi sebenarnya. Tapi Nagi selalu menyukai pemandangan ini.
"Apa Nagi sudah sarapan? Maaf, aku tidak membawa makanan. Aku terburu-buru karena khawatir pada Nagi." Reo menurunkan Nagi di ranjangnya.
Nagi menggeleng pelan. "Aku juga belum mandi dari dua hari lalu. " Lalu kepala Nagi beralih menghadap ke arah lain. Bibirnya mengerucut lucu. Nagi sedikit malu pada Reo ketika mengatakan hal tersebut. Reo tersenyum melihatnya.
"Nagi berobat ke rumah sakit, ya." Ucap Reo.
"Aku cuma demam Reo." Balas Nagi.
"Maka dari itu Nagi harus berobat ke rumah sakit."
"Itu terdengar merepotkan."
"Selama bersamaku, tidak ada yang merepotkan."
Nagi tercenung mendengar perkataan Reo. Ekspresinya tidak akan kentara karena Nagi memanglah anak yang minim ekspresi.
Reo memang bisa diandalkan. Hal-hal merepotkan yang tidak ingin Nagi lakukan, selalu Reo lakukan untuknya. Contoh kecilnya yaitu, Reo sering menggendong Nagi yang malas berjalan selesai dari latihan klub sepak bola mereka.
Nagi kembali beralih pandangan. "Baiklah, Reo menang."
Saat memutuskan sesuatu seperti, apa yang akan mereka lakukan, Reo selalu yang menjadi pemenangnya. Karena Reo adalah anak yang akan mendapatkan apa yang ia inginkan.
Dan Nagi menyadari hal itu dari awal pertemuan mereka.
Reo terkekeh puas sebagai tanggapannya. "Tunggu sebentar, ya." Nagi mengangguk sekali.
Reo kemudian keluar dari kamar Nagi. Ia berjalan ke arah kompor dan menyalakannya. Reo merebus air, berniat untuk sedikit mengelap tubuh Nagi menggunakan air hangat.
Sambil menunggu, Reo mulai menelepon seseorang. "Halo, Tuan Reo." Suara di seberang telepon itu adalah milik Ba Ya.
"Ba Ya, datanglah ke apartemen Nagi. Dia sedang sakit. Aku ingin mengantarkannya ke rumah sakit untuk berobat. Sekalian bawakan beberapa pakaianku." Titah Reo.
"Kenapa Tuan Reo meminta untuk dibawakan pakaian?" Tanya Ba Ya.
"Karena aku ingin menginap di apartemen Nagi untuk merawatnya sampai dia sembuh." Reo memeriksa suhu air dengan merentangkan telapak tangan di atas uapnya.
"Lalu bagaimana-"
"Tolong sampaikan izinku pada ayah dan ibu."
Tuutt.
Reo mematikan telepon secara sepihak tanpa menunggu balasan selanjutnya dari Ba Ya.
"Apa itu Reo?" Di sisi lain, Ba Ya terperanjat kecil mendengar suara seseorang yang tiba-tiba berbicara dengannya. Dan orang itu adalah ibu kandung Reo, Nyonya dari keluarga Mikage.
Ba Ya menunduk sekali kemudian membalas, "Iya, Nyonya. Tuan Reo meminta izin untuk menginap di rumah temannya, Nak Nagi."
"Kenapa?"
Ibu Reo berjalan memutari kursi lalu berhenti di depan jendela besar yang menampilkan pemandangan hiruk pikuk tengah kota di pagi hari.
"Kata Tuan Reo, ia ingin merawat Nak Nagi yang sedang sakit sampai Nak Nagi sembuh." Jelas Ba Ya dengan lembut.
"Apa orang tua temannya itu tidak bisa merawat anaknya sendiri?"
"Setahu saya, Nak Nagi tinggal sendirian, Nyonya. Kedua orang tuanya memang tidak pernah ada di apartemen."
Nyonya Mikage tersebut mendengus kecil. Ia meletakkan kedua tangan dibelakang pinggang rampingnya.
"Nagi, ya." Gumam wanita berambut ungu gelap itu.
*****
Ngetik cerita sambil dengerin lagu yang musiknya mendukung bikin senyum-senyum sendiri ya :v
MirayukiNana
Minggu, 16 Juni 2024.
KAMU SEDANG MEMBACA
would you be..... [✔️]
Fanfiction[END] Seishiro Nagi&Reo Mikage Berhadapan dengan Reo beberapa bulan terakhir membuat Nagi merasa ada yang aneh dengan perasaannya. Sangat tidak nyaman. Bukan karena Nagi membenci Reo. Ia bahkan tidak pernah berpikir untuk membenci pemuda yang selalu...