"Kau bisa bertemu dengannya untuk terakhir kali, sebagai ucapan perpisahan...."Aku mengernyit, menatapnya bingung. "Ya, apa salahnya? Kau bisa mengunjunginya.... Sebelum kau benar-benar pergi dan tidak akan bertemu lagi dengannya."
"Itu tidak mungkin, bukankah aku tidak bisa bersentuhan dengannya?"
"Dengan hanya kontak mata, bertelepati, tidak harus bersentuhan." Aku tercekat merasa sedikit sedih mengetahui bahwa aku tidak dapat menyentuh orang yang aku cintai rasanya sangat menyakitkan, seperti menyimpan sebuah harapan yang sudah lama ingin kau raih tapi tiba-tiba kau terjatuh dan tidak bisa beranjak bangkit lagi untuk menggapainya. "Aku tidak tahu di mana dia berada sekarang."
"Apakah kau dan dia tidak mempunyai sebuah tempat yang spesial?"
"Tempat spesial?"
"Ya, tempat yang menyimpan banyak kenangan antara kau dengan dia. Mungkin saja dia masih ada di sana, ingin mengingatmu atau—"cukup. Hentikan. Hentikan ini. Aku langsung menggelengkan kepalaku lantas mengambil nafas panjang, untuk mendinginkan hatiku yang sejak tadi terasa panas. Entah karena emosi, atau apapun itu. Aku tidak peduli. Aku langsung berbalik, pergi dari hadapan Grace dan menjauh dari kerumunan peri yang sedang mengadakan sebuah pesta meriah. Rasanya, sebelum hatiku benar-benar tidak ingin ikut bergabung jadi jauh lebih baik jika aku memilih untuk menyendiri. Aku berjalan menuju ke arah taman belakang, melewati pilar-pilar tinggi di Istana. Aku memperhatikan lorong yang aku lewati, merasa sedikit rindu dengan tempat ini tapi aku semakin rindu dengan Justin. Kenapa justru aku sekarang ingin kembali kebumi, tertidur dengan tubuh pria bermata madu itu ada di sebelahku, sedang mendengkur di dekat telingaku. "Aku akan memberimu waktu." Aku tersentak kaget dan memutar tubuhku berbalik, melihat seorang wanita dengan mata terangnya sedang menatapku.
Ratu Everence.
Aku sedikit membungkukkan tubuhku, melihat wanita itu berjalan semakin dekat dan sekarang sudah ada di hadapanku. Sangat jelas. "Waktu? Waktu apa yang kau maksud?" aku menatapnya bingung dengan pandangan penuh pertanyaan, wanita itu tersenyum tipis. "Aku memberikanmu waktu tiga jam untuk kembali ke bumi dan bertemu dengan sosok manusia itu." Aku nyaris saja tercekat, menatapnya terkejut. Apakah itu... serius—eh?
"Kau bisa pergi sekarang"
"Tapi—"
"Ehm-hm, dengan syarat. Kau tidak boleh bersentuhan, cukup dengan berpandangan, mengucapkan kata-kata perpisahan..."Aku mengatupkan bibirku yang membisu lantas menatap bola mata ratu Everence dengan tatapan berbinar.
"Aku.. apa aku bisa pergi sekarang?"tanyaku sekali lagi, dan wanita itu mengangguk menyetujui. 3 jam. Aku mempunyai waktu tiga jam bersama Justin. Nafasku terasa menggebu-gebu, sedikit senang dan terharu lantas tidak dapat membendung rasa bahagiaku. Aku terlihat sedikit kaget, hingga akhirnya aku berbalik meninggalkan ratu Everence dan beringsut ingin segera terbang menuju ke bumi, aku harus menemuinya. Aku harus bicara dengannya.
Tapi dimana aku akan bertemu dengan Justin?
Tempat paling spesial, aku teringat pada kalimat Grace. Justin berada ditempat yang menurutnya menyimpan banyak kenangan denganku, tempat paling spesial di matanya. Pantai. Pantai dimana pertama kali dia menyatakan cinta padaku. Dia pasti ada di sana, aku berani bertaruh.
Author's View
Justin menatap lurus kearah ombak yang bergulung memecah karang, pertama kali teringat saat di mana dia pertama kali menyatakan cinta pada Shaylene, gadis itu menggunakan sebuah gaun cantik, sangat cantik yang mampu membuatnya terpesona. Pantai ini adalah saksi bisu, di mana dia sudah resmi menjadi seseorang yang mempunyai hak memiliki hatinya. Sepasang bola mata karamelnya tampak berbayang, berkaca-kaca karena air mata, ingin menangis. Dia bahkan terlihat sangat bodoh—sungguh. Justin mengeluarkan kalung berbatu aquamarin yang ditinggalkan Shaylene di kamarnya, sebuah kalung indah sebagai hadiah dari Justin untuk pertama kalinya. Pikirannya menerawang, teringat saat dia memeluk tubuh mungil itu, mengecup bibirnya dan mengajak Shaylene duduk di atas sebuah kap kapal pesiar, menatap pemandangan malam hari. Pria itu kini terdiam membeku didepan ombak, berharap gulungan ombak itu dapat membawanya pergi atau menghilang dari bumi.
Epilog
Mulai dari awal