-Ⴆαɠιαɳ ρҽɾƚαɱα

Mulai dari awal
                                    

“Enggak apa-apa Dur.. Enggak apa-apa.. ”

Semua terasa berenang dikepala. Duri mengehala nafas pelan sebelum kemudian mendongkak, bersandar pada kursi belajarnya, menatap langit-langit kamar. Sebelum akhirnya ia memilih menutup mata, berharap rasa sakit yang mendera tubuhnya hilang seiiring berjalannya waktu.

“... ”

“DURI! WOI LAH BANGUN NJIR! WOI DURI!. ”

Blaze—anak keempat dari tujuh bersaudara itu memukul-mukul pintu kamar Duri dengan kencang. Tubuh tingginya sudah dibalut seragam khas sekolahan SMA. Iaberdecak sebelum kembali memukul pintu kamar Duri lebih kencang.

“Elah Duri, Duri.. Tidur mulu perasaan..! ” Blaze mengeluh kecil.

“DURII! BANG GEM UDAH NUNGGU. BANG HALI UDAH MARAH-MARAH! BUKA DONG. ”

Didalam sana, Duri dengan cepat memakai rompi abu khas sekolahnnya dengan tergesa. Memasukan buku ini dan itu kedalam tas putihnya dengan cepat.

Sial beribu sial. Akibat semalam tubuhnya terasa sakit hingga menyebabkan ia terlambat bangun. Ia sendiri merasa heran, pasalnya setiap hari ia menghabiskan 10 jam belajar tak pernah sampai membuatnya kesiangan seperti hari ini. Kalau Duri ingat-ingat kembali mimisan ia sudah sering, mungkin faktor kelelahan.

Ia membuka pintu dengan capat, Blaze berdiri didepan pintu kamarnya dengan berdecak pinggang, sorot matanya menampilkan kekesalan.

“Lo lama kayak cewek! Semuanya udah nunggu tau enggak?!. ”

Duri nyengir sedikit ia menggaruk tengkuk nya yang tak gatal “Hehehe.. Maaf deh ya kakakku~Duri kesiangan soalnya. ”

“Udah deh, sekarang kebawah yang lain udah mau berangkat. ”

“... ”

“Kak Gem ini udah pada mau berangkat?. Duri belum sarapan.. ”

Duri melihat Gempa, Taufan, dan Blaze sudah bersiap dengan ranselnya. Gempa melirik Duri sebentar sebelum menyerahkan kunci mobil pada Blaze.

“Lo sih telat Ri. Ini bentar lagi kita kesiangan, lo tau kan kak Gem tuh ketua osis?.

Taufan berkata dengan sinis. Memang biasanya Gempa, Taufan , Blaze, dan Duri berangkat bersama menggunakan mobil beda halnya dengan Ice, Solar, dan ya Halilintar yang terbiasa membawa motor sendiri.

“Yaudah lah ya Duri kalo mau sarapan kita tinggalin enggak apa-apa kan?. ” Blaze bersidekap dada sambil tersenyum miring melihat Duri hanya diam.

“Yaudah Duri berangkat bareng Ice, Solar atu enggak Hali aja. Soalnya kita udah mau pada berangkat. ”

Ucapan Gempa mampu membuat Duri meneguk ludahnya kasar. “Iya enggak apa-apa. ” jawabnya pasrah.

Setelah kepergian mobil yang dibawa Blaze. Duri melangkahkan kakinya menuju meja makan. Disana ada Ice, Solar dan Halilintar yang tengah sibuk sarapan namun masing-masing dari mereka sibuk pada handphone yang dipegang.

Duri menarik nafas pelan, ia mengambil selembar roti tawar lalu mengoleskan selai coklat dengan perlahan. Suasana terasa begitu canggung dengan hawa tak mengenakan yang menyelimuti. Kedua kakak—Halilintar dan Ice, serta satu adiknya—solar. Memang memiliki sifat yang pendiam, mereka jarang sekali berbicara.

Suara decitan kursi yang bergesekan dengan lantai membuat atensi mereka teralihkan pada sipelaku pendorongan kursi.

“Gue berangkat duluan bang. ” Solar memasukan handphonenya kedalam saku celana lalu memakai ranselnya.

Halilintar hanya berdehem singkat sebagai tanggapan. Solar lalu meninggalkan meja makan menyisakan Ice, Duri dan Halilintar.

“Lo ditinggal bang Gem kan? Lo naik bis aja, gue enggak mau bareng sama lo soalnya. ” Ice berkata demikian, seolah kalimat tersebut tak menyakiti Duri.

Dadanya terasa sesak, iris emerlad nya memancarkan banyak sekali kekecewaan. Nafsu makan Duri pun hilang. Ia menaruh kembali roti yang bahkan baru ia gigit sekali diatas piring.

“Duri berangkat duluan. Takut ketinggalan bis soalnya. ” setelahnya Duri memilih pergi.

Baik Ice maupun Halilintar hanya menganggkat bahu acuh sebagai respon. Tak peduli.

↷✦; b e r s a m b u n g ❞

—thanks for reading, comment, and your voting(∩´∀'∩)*゜. See you next chapterヾ(^-^)ノ.

sɪᴀ-sɪᴀ[ᴇɴᴅ]LPH[OG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang