"Gue ngasih kesempatan hari ini aja kalau lo berubah pikiran."
Helaan nafas terdengar, sebenarnya Keisya sudah memikirkan ini jauh hari. Ia setuju jika papanya memindahkannya ke luar negeri. Namun, semenjak ia masuk rumah sakit, papanya seperti membatalkan rencana itu.
"Aku tetep mau pergi, Gavin. Kalau kamu nggak mau ikut nggak masalah."
"Gue ikut." Potong Gavin. Lelaki itu juga sudah memutuskan untuk pergi dari keluarganya. Daripada keberadaannya dianggap benalu, lebih baik Gavin pergi saja. Lagipun, ia ingin menjaga Keisya di sana. Wanita itu sedang 'sakit', seharusnya ada orang disampingnya untuk memantau. Dan Gavin bersedia untuk itu.
"Kita memulai hidup baru, yang lebih baik." Gavin memandangi wajah Keisya dengan teduh. "Nggak ada luka, nggak ada yang saling menyakiti. Kita raih kebahagiaan itu, Kei." Sambungnya.
"Aku mau bahagia lagi, Gavin." Mata Keisya memanas, ada yang mendesir dihatinya kala mengucapkan kalimat itu.
"Gue cari kebahagian itu buat lo."
Bibir Keisya tersenyum. Ia sangat beruntung memiliki Gavin. Lelaki itu spesial. Keisya amat menyayanginya.
"Terimakasih karena telah menjadi orang baik Gavin." Ucap Keisya dengan nada lirih. Ia tak tahu nasip dirinya jika tak ada lelaki itu disampingnya. Tanpa Keisya sadari, ia telah membohongi perasaannya sendiri.
Ia selalu mempertahankan egonya, dan menyampingkan perasannya selama ini. Sementara mulutnya berkata jika Gavin adalah sahabatnya, namun hatinya berkata posisi Gavin jauh lebih spesial. Keisya tak tahu sejak kapan perasaan ini tumbuh, Keisya sadar hanya saja ia denial.
Tangan Gavin menggenggam erat tangan Keisya, rekatkan jemarinya seolah tak ingin perempuan itu menjauh darinya. Perasaan Gavin akan terus tumbuh, terus membesar, sehingga ia merasa terluka kala Keisya memasang tembok tinggi, mengatakan secara berulang jika mereka adalah sahabat.
Kedua manik teduh milik lelaki itu tak lelah memandangi wajah cantik didepannya. Ia tersenyum tipis, "cantiknya Gavin." Gumamnya.
Keisya yang mendengar itu lantas tersipu malu. "Kamu apa-apaan sih Gavin. Muka aku banyak luka gini kamu bilang cantik." Keisya yakin sekali Gavin berbohong untuk memujinya.
"Mata gue nggak katarak, Kei. Lo cantik. Cantik banget malah. Apalagi kalau luka lo nanti hilang, cantiknya pasti bikin Gigi Hadid insyekur." Puji Gavin.
"Berlebihan kamu mah." Keisya tak bisa menahan senyumnya. Namun dua detik kemudian, ekspresinya berubah gugup begitu Gavin mendekatkan wajahnya dihadapannya.
"Sorry." Ucap Gavin, masih dengan posisi yang sama.
"Untuk?"
"Perasaan gue yang nggak bisa gue kontrol."
Keisya terdiam mendengar ucapan Gavin. Ya, Keisya masih ingat jika Gavin pernah mengutarakan perasaannya secara mendadak di rooftop sekolah, saat ia dalam masalah besar. Keisya meninggalkannya saat itu dengan ucapan 'hanya teman', dan Keisya menyesalinya sekarang.
"Tapi gue nggak bisa bohong, Kei. Gue cinta sama lo. Selama ini gue mencoba nahan perasaan gue, gue coba memudarkannya, untuk mengikuti kemauan lo tentang kita yang harus sebatas sahabat saja. Tapi kenyataannya, cinta itu semakin membesar. Dan ketika itu, gue selalu ingat kalau kita sebatas sahabat. Secara gak sadar memendam itu melukai perasaan gue, Kei."
"Maaf karena gue lancang jatuh cinta sama lo." Wajah Gavin meredup. Tangannya tergerak mengusap air mata Keisya yang mendadak jatuh. "Gausah mikirin perasaan gue, biar gue mendem sendiri walaupun sakit."
"Besok kita pergi dari sini, jadi jangan memikirkan apapun."
Gavin menyentuh kepala Keisya, mengusapnya dengan lembut. "Lo akan bahagia dan bisa tersenyum lagi. Sabar ya cantik." Gavin tersenyum hangat. "Dan lo akan sembuh, Kei." Sambungnya dalam hati.
Cup
Tanpa diduga, Gavin mengecup kening Keisya. Membuat perempuan itu tersentak dan airmata yang sejak tadi ditahan akhirnya pecah juga. Tenggorokan Keisya terasa kelu, hatinya berdenyut nyeri. Jahat sekali dirinya tak membalas perasaan lelaki itu.
Sementara itu, Damian yang melihat semuanya dibalik dinding lantas mengepal tangannya. Ia mendengarkan seluruh percakapan Keisya dan Gavin, tentang mereka yang akan melarikan diri besok. Tentu Damian takkan tinggal diam. Ia tak membiarkan Gavin membawa Keisya pergi darinya. Damian tidak bisa membayangkan jika adiknya itu jauh dari pandangan, ia takkan rela.
Damian memutuskan untuk pergi dari rumah Gavin. Ia akan menyusun rencana untuk menggagalkan pelarian mereka. Sekaligus untuk memisahkan Gavin dari Keisya-nya.
Ia sudah menyesali segala perbuatannya pada Keisya dulu. Dan, Damian ingin memperbaiki semua itu. Ia berharap supaya hubungan mereka kembali seperti dulu, saat kedua orangtua mereka belum menikah.
Sedikit gila, itu lah jalan pikiran Damian. Rasa tidak rela jika Keisya dimiliki orang lain, Damian akan cari cara untuk memisahkannya. Ia tak peduli bagaimana perasaan Keisya. Karena yang terpenting adalah wanita itu berada disisinya.
Damian masih mencintai Keisya, dan Damian juga masih yakin Keisya juga mencintainya. Lagipun, bukankah mereka berjanji untuk selalu bersama dalam suka ataupun duka. Damian ingin membuktikan janji itu nyata sekarang.
"Sekalinya milik gue, sampai kapanpun tetap milik gue."
"Lo kesayangan gue, Keisya. Dan gue nggak rela kalau lo di miliki siapapun selain gue."
Cinta Damian menggila, ia nyaris menganggap Keisya sebuah barang yang sudah menjadi tanda kepemilikannya. Obsesinya tersebut membuat akalnya dangkal. Damian butuh pertolongan segera!
"Gue kasih tau arti cinta itu sebenarnya, Kei."
*
*
*Serem amat sih Damian😭🙏 emang definisi cinta bagi lo apa sih?
Gaes, Damian emang nyesal dengan perbuatannya selama ini ke Keisya. Tapi bukan berarti obsesinya hilang😭👊
Gavin, cepet bawa Keisya jauh-jauh dari Damian😔
Kira-kira perjalanan mereka besok lancar nggak ya?
Lihat chapter kedepannya ya! See you guys!
KAMU SEDANG MEMBACA
DAMIAN
Teen Fiction⚠️ CERITA INI MENGANDUNG KEKERASAN SEKSUAL, MENTALHEALTH, SELFHARM, CACIAN DAN KATA-KATA KASAR. TOLONG BIJAK DALAM MEMBACA! Sudah end, belum direvisi! Awalnya kehidupan Keisya Amanda hanyalah kehidupan remaja pada umumnya. Ia gadis yang ceria, dan s...
58. BOHONGI HATI
Mulai dari awal