Si opsir nampak meremehkan. Bagi si opsir, Gempa bukanlah masalah. (Nama) bisa menyingkirkannya kapan saja, andai kata Gempa bukan klien Interpol, dan Kaizo tidak memintanya hidup-hidup ke markas mereka di Britania.

(Nama) berdiri, sedangkan Gempa menghampiri, hendak melarang—mencegahnya pergi.

"Kamu, eh? Kamu mengancamku?" (Nama) menerbitkan senyum mengejek selagi ia berusaha berdiri tegap. (Nama) tidak bisa menahan kekehan gelinya dari tenggorokan. (Nama) memperlihatkan selebar-lebarnya visi dimana Gempa bukan sama sekali penghalang baginya. (Nama) ingin Gempa tahu, dimana posisinya berada, dan siapa yang memerintah.

"Duduk. Berbaring." Gempa mengerutkan dahi. Dia berusaha menjadi lembut—lagi—pada pasien pembangkangnya. Namun, rasanya (Nama) tidak mendengarkannya. (Nama) malah menghembuskan napas kesal, sembari merenggangkan tubuhnya, seolah mengekspos kemerdekaannya sendiri dalam balutan gaun pasien itu.

"Dengar," (Nama) menahan tawa kecil, dia mendecak sebal. "Kamu tidak bisa mengaturku. Kamu bukan ancaman bagiku. Kamu tak punya daya. Kamu tidak akan me—"

Mata (Nama) membelalak pada bagian perut bawahnya. Mata itu melotot seketika, dan mulutnya menganga konstan. Reflek kejut membekukan persendiannya. Impuls menuju otaknya mengalami penangguhan.

Tubuh (Nama) ambruk, namun Gempa menahannya, dan membawanya kembali ke kasur selagi jarum suntik menusuk bagian pinggulnya. Cairan itu menembus gaun pasiennya, dan melesat ke dagingnya.

"Jangan khawatir. Itu hanya," Gempa mengangkat satu per satu kaki (Nama) ke matras operasi. "Pelumpuh otot. Bukan bius."

Mata (Nama) masih bisa bergerak mengawasi gerak-gerik Gempa. Gempa, mencaput injeksinya dari perutnya. Jarum itu menyakitkan. Karena jarumnya besar, dan di bagian situ, di area sekitar bokong, kebetulan banyak terkandung saraf.

Sekujur tubuhnya berhenti mematuhi perintah otak (Nama). Setiap inci ligamennya kaku. Mulanya hanya susah dibuat bergerak, tapi seiring waktu, dia kehilangan kontrol atas sekujur tubuhnya. Obat itu menyebar lebih cepat dari anastesi epidural, dan mencekik setiap otot-ototnya, memenjarakannya dalam kelumpuhan total.

(Nama) hanya dapat melihat Gempa yang menatapnya dari atas sana. Gempa berdiri, tegak, dengan apron medis dan lapisan celemek warna hijau, senada dengan pakaian steril dan pelindung kepalanya.

Gempa memakai sarung tangan pendek dari lipatan-lipatan kertas berbalutkan bedak, menimpa apronnya yang juga berakhir di telapak tangan. Suara decitan karet sebab peregangan sarung tangan itu terdengar bagai irama mengerikan di telinga (Nama).

"Kamu memaksaku menyuntikkan racun saraf." Gempa menyunting senyum getir. Gempa mengangkat kaki (Nama), mengatur postur tubuhnya dengan sangat sangat mudah, seolah tulang belulangnya terbuat dari gir keras dilengkapi oleh pelapis silikon. Lalu, Gempa menurunkannya lagi. Darisanalah, (Nama) tahu, dia sedang bermain-main dengannya. Itu bukan gerakan yang sebetulnya perlu dilakukan.

Mulut (Nama) bergetar. (Nama) harap, (Nama) dapat menembak paru-parunya agar ia jera, tapi tidak mati. (Nama) tidak bisa bergerak lebih dari berkedip, dan merasakan melalui sensor kulitnya, mengenai betapa menyebalkannya tekstur sarung tangan Gempa di kulit betisnya.

(Nama) mencoba berkonsentrasi, ia memusatkan tenaganya untuk mengangkat tangan. Tapi, tidak bisa.

"Rasanya seperti tidak punya tonus otot? Stroke?" Gempa terkekeh geli. Kekehannya terdengar menggema. Tidak ada suara lain, kecuali suara dari mulut si dokter, dan suara monitor tanda-tanda vital di atas kepalanya.

"Diam di sana." Gempa memerintahkan. Gempa beralih pada membran-membran kecil berwarna biru yang ditempeli perekat di sisi bawahnya.

"Maaf, ya." Gempa meminta izin. Gempa menyimpan setiap membrannya di titik pelepasan darah pada jantung (Nama). Ia juga melekatkan lengan atasnya pada kain perekat berkabel yang terhubung pada monitornya. Ujung jari telunjuknya pun diberikan oksimeter. Persiapannya sempurna.

Gempa x Reader | NegagenesisWhere stories live. Discover now