Bab 8. Cinta Saralee dan Kemarahan Parveen

Mulai dari awal
                                    

"Kenapa aku harus percaya padamu? Kau adalah putri dari kerajaan musuhku. Dan untuk apa, kau takut aku membencimu? Bukankah selama ini kerajaan kita saling membenci?" tanya Parveen dengan nada datar.

Kedua mata mereka saling bertemu. Saralee menatap sendu Parveen. Ia melihat di dalam netra birunya ada kesedihan yang mendalam. "Karena aku ...." Saralee mencoba menelan ludahnya sendiri. Jarak keduanya yang begitu dekat membuat Saralee sedikit gugup. Apalagi tatapan Parveen yang tajam seakan menusuk kulit kepalanya.

Cengkeraman tangan Parveen di bahu Saralee berubah kuat. Saralee mencoba menahan ringisan akibat tekanan dari pangeran pertama. "Veen."

"Karena apa, Putri?" Saralee merasakan bahunya semakin dicengkeram erat.

"Karena aku mencintaimu, Veen!" Ucapan Saralee itu membuat cengkeraman tangan Parveen terlepas. Gadis itu bahkan berlari ke dalam dekapan sang pangeran pertama.

"Ya, Veen. Semua ini aku lakukan, karena aku mencintaimu," aku Saralee dalam pelukan Parveen.

Parveen membalas pelukan Saralee dengan erat. Ia memejamkan matanya, seakan tidak ada hari esok. Sang pangeran mencoba menekan emosi yang ada dalam dirinya. Penuturan Saralee membuat kemarahan Parveen lenyap begitu saja. Sepertinya ia harus mencari tahu penyebab kematian Putri Fahda, tanpa melibatkan Saralee.

Hanya saja Parveen tidak boleh terbuai secepat itu dengan ucapan Saralee. Ia melepaskan pelukan mereka. Kembali menghimpit Saralee di dinding kamar. "Katakan, bagaimana kau membuktikan ucapanmu itu? Bagaimana caranya aku percaya, Ralee?" tuntut Parveen.

Saralee menatap Parveen dengan tajam. "Nikahkan aku di atas api suci dengan ijabmu, Veen. Maka kau akan lihat betapa besarnya cintaku," cetusnya.

Parveen tertawa sinis. Seakan mengejek ucapan Saralee. "Kenapa kau tertawa? Kau tidak percaya? Maka dari itu, buktikanlah, Veen! Buktikan bahwa ucapanku adalah kebenaran!" Saralee menantang sang pangeran pertama.

Tawa Parveen surut begitu saja. Ia menatap netra hijau milik Saralee dengan lekat. "Baiklah, jangan pernah menyesal karena telah menjadi milikku, Ralee!"

Saralee menggeleng dengan tersenyum tipis. Ia bahagia Parveen mempercayai cintanya. "Aku tidak akan menyesal, Veen."

"Jangan pernah, Ralee!" Parveen memakaikan penutup setengah wajah milik Saralee. Kemudian memakaikan kembali tudungnya di atas kepala sang putri. Parveen menggenggam tangan Saralee dan berjalan keluar istana melalui jendela kamarnya. Seperti jalan awal Saralee memasuki kamar miliknya.

Saralee hanya mengikuti setiap langkah Parveen. Ia telah memutuskan menyerahkan hidupnya pada cintanya.

Tanpa mereka sadari, di balik pintu kamar Parveen ada dua orang yang mendengar percakapan mereka sedari awal. Luisa menangis dengan bersandar di dinding. Awalnya ia hanya ingin menghampiri sang kakak, takut terjadi apa-apa pada Parveen. Luisa dan Nashel mengurungkan niatnya memasuki kamar Parveen ketika mendapati Saralee yang masuk diam-diam.

"Mereka saling mencintai, Pangeran," lirih Luisa, "bagaimana mungkin aku tega memisahkan mereka dengan perang ini."

Luisa baru saja ingin meminta Parveen memimpin perang untuk menyerang Kerajaan Jenggala. Kehilangan Putri Fahda membuat akal sehatnya Luisa hilang. Gadis itu ingin segera membalaskan dendam pada kerajaan musuh mereka. Namun, cinta Parveen dan Saralee menyadarkan Luisa.

Cinta hadir di antara Parveen dan Saralee, di saat mereka dihadapi rumitnya perseteruan kerajaan mereka sendiri. Luisa sangat ingin membalaskan dendam dengan menghampiri Saralee dan membunuh gadis itu di wilayahnya. Seperti kematian sang kakak, Fahda.

Sayangnya kekuatan cinta mereka membuat Luisa menyadarkannya. Belum terbukti Kerajaan Jenggala bersalah atas kematian Putri Fahda. Apalagi ketika melihat cinta Saralee pada kakaknya, Parveen. Bahkan sang putri dengan berani menyerahkan hidupnya pada pangeran dari kerajaan musuh. Pengorbanan Saralee membuat Luisa menangis sekarang. Bagaimana mungkin ada gadis seberani itu?

"Aku harus bagaimana, Pangeran?" Nashel dengan segera memeluk Luisa. Ia mengerti perasaan putri kedua sekarang.

"Aku jahat bukan? Jika saja Putri Saralee tidak menunjukkan cintanya pada Bhai-ja Veen. Aku mungkin sudah dengan tega menyerang kerajaannya. Mungkin aku juga sudah melenyapkan cinta milik Bhai-ja Veen. Tapi, bagaimana dengan Bhai-ja Fahda? Pangeran ...." Luisa sudah tidak sanggup lagi berbicara.

"Dengarkan aku, Putri." Nashel memegang bahu Luisa. Ia menatap lekat netra sang putri. "Kita akan mencari tahu tentang kematian Putri Fahda tanpa melenyapkan siapa pun."

"Lalu bagaimana dengan Bhai-ja Veen? Bagaimana jika Raja tahu. Kau tahu betul bagaimana sikap Raja, bukan? Jika Raja tahu, Bhai-ja Veen akan dihukum mati. Aku takut kehilangan kembali," lirihnya. Luisa bukan tidak setuju dengan cinta Parveen dan Saralee.

Hanya saja konsekuensi dari Raja Salman atas cinta Parveen, akan membawa pangeran pertama pada hukuman mati. Itu karena Parveen akan dianggap sebagai pengkhianat. Luisa takut semua itu terjadi pada kakaknya. Ia hanya takut kembali kehilangan setelah kematian Putri Fahda.

"Tidak akan ada kematian lagi, Putri. Percayalah padaku." Nashel menenangkan sang putri kedua.

Alis Luisa terangkat. Menatap Nashel penuh tanya. "Bagaimana caranya?"

Nashel tersenyum tipis. "Aku punya caranya, Putri."

Terima kasih telah membaca sampai selesai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih telah membaca sampai selesai.

Jangan lupa tinggalkan jejak dengan komenmu di sini.

Bagaimana part ini?

Jangan lupa follow Ig aku
@xsvnsftr

Tiktok @svsftr

Veen-RaleeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang