Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Jam sepuluh, Rajas meminjam sepeda motor milik bundanya. Cuaca sangat panas dan membuat beberapa peluh membasahi keningnya. Namun niatnya untuk mencari tau dimana keberadaan rumah dari Ode membuat semangatnya kembali terpacu. Kalau boleh jujur, jarak rumahnya dengan alamat yang tertera di data diri Ode lumayan jauh. Rajas sudah mengeceknya melalui Google Maps kemarin.
Tidak masalah. Ia masih muda.
Sepeda motor milik bunda berhenti di sebuah rumah yang terlihat sederhana, berbeda dengan beberapa rumah yang ada di kiri kanannya. Tadi sebelum sampai di tempat ini, Rajas sempat menanyakan kepada orang-orang yang ia temui di jalan. Tak jarang ia juga menemui jalan buntu dan Rajas sama sekali tidak menyerah.
“Permisi.”
Berulang kali Rajas mengetuk pintu setelah melewati pagar yang terbuka. Ketukan demi ketukan kian mengeras. Bahkan suaranya pun juga ikut mengeras. Sayangnya tak kunjung mendapatkan balasan dari si pemilik rumah.
“Kemana ya? Apa gak ada orang? Tapi pagarnya dibuka.”
Rajas memastikannya sekali lagi, apabila tetap tak mendapat sahutan, ia memutuskan untuk kembali ke rumah dan mencobanya kembali besok setelah pulang sekolah.
“Gue balik aja deh. Kayaknya emang beneran gak ada orang. Yang penting gue udah tau rumahnya.”
Saat akan berbalik dan menuju pada motornya yang terparkir, langkah kakinya tiba-tiba terhenti—pasalnya rungu Rajas mendengar suara pintu yang terbuka pelan.
“Siapa?”
Rajas dapat mengenali suara itu. Suara khas seorang ibu-ibu yang sudah lanjut usia. Lalu dengan senyum yang merekah, Rajas berbalik dan memang benar, ia mendapati seseorang beruban yang berdiri di depannya dengan pandangan yang penuh dengan rasa penasaran.
“Apa benar ini dengan rumahnya Ode?” tanya Rajas sopan.
“Iya. Kamu siapa?”
“Saya…. temannya.”
Rajas tau berbohong adalah sebuah kesalahan yang bisa menimbulkan kebohongan lainnya. Rajas juga merasa tak enak hati karena melakukan hal ini. Tapi mau bagaimana lagi, ia tetap harus melakukannya demi terungkapnya rasa penasaran yang sudah ada di dalam hati sejak lama.
“Saya tidak pernah melihat kamu sebelumnya.”
Bagaimana mau melihat, Rajas saja sama sekali tidak pernah mengenal Ode bahkan di saat perempuan itu masih hidup.
“Saya…teman SMP-nya. Saya mau bertemu—”
“Gak ada.”
“Maaf, Nek, tapi….”
“Cucu saya sudah meninggal.”
Ia tahu, tapi sebisa mungkin Rajas membuat ekspresi wajahnya agar nampak terkejut, seperti baru mengetahui kabar duka ini. Untungnya wanita itu sama sekali tak curiga. Bahkan jika lebih meyakinkan, Rajas menunjukkan air matanya. Namun sialnya, air mata tersebut susah untuk dikeluarkan.