"Kak.... Kakak kok bongkar tas aku?"

"Kenapa? Bukankah itu harusnya biasa kita lakuin? Kenapa sekarang jadi salah?"

"Kak. Bulan.."

"Apa? Kamu nggak bisa jelasin? Selama ini apa kamu merasa kurang hidup sama kakak? Kamu nggak cukup sampai harus minta-minta ke Bunda?"

"Bukan gitu Kak. Bulan nggak pernah minta sama Bunda."

"Terus ini apa Lan?"

"Bunda sendiri yang kasih."

"Dan kamu mau? Kenapa?"

"Karna bulan nggak mau terus-terusan bebanin kakak. Bulan sedih waktu liat kakak jadi waitress. Biaya kuliah Bulan gede kak."

"Kakak pikir kamu percaya sama kakak. Ternyata sama aja. Kamu sama aja kayak mereka. Kamu nggak percaya sama kakak, kamu ngeremehin kakak, kamu anggep kakak gagal, kamu anggep kakak nggak mampu. Kamu..." Mentari terisak-isak mendengar penjelasan Bulan.

"Kak. Maafin Bulan. Bulan nggak berniat gitu."

"Mentari, Bulan." Bintang tiba-tiba datang dan menyaksikan perkelahian Mentari dan Bulan.

"Sekarang kembaliin semuanya. Kembaliin ke Bunda Tika." Teriak Mentari tanpa menghiraukan hadirnya Bintang.

"Ini ada apa sih sebenernya? Kamu jangan marah-marah gitu sayang, kasihan Bulan." Bintang pun dengan perlahan membantu Bulan berdiri.

"Terserah ya gimana pun caranya kembalikan semua itu ke Bunda, kalo emang kamu masih anggap aku kakak." Mentari terduduk lemas di atas sofa.

"Lan. Kita keluar dulu." Bintang mencoba menetralisir kondisi di rumah itu dengan membawa Bulan pergi, dan jika perlu, ia akan mengantarkannya pada Bunda Tika seperti apa yang diperintahkan Mentari.

Sebelum mengantarkan Bulan pada Bunda Tika, Bintang terlebih dahulu mengajak Bulan untuk duduk di taman.

"Hiks, hiks, hiks. Gimana Kak? Kak Tari marah sama Bulan."

"Udah Bulan. Kak Tari cuma lagi emosi. Nanti juga balik lagi. Dia nggak mungkin marah lama-lama sama kamu."

"Bulan harus gimana?"

"Ini sebenernya ada apa sih?"

"Semuanya gara-gara ini." Bulan memberikan buku rekening beserta kartunya kepada Bintang.

"Bunda Tika?"

"Iya. Bunda Tika ngasih Bulan itu buat biaya kuliah. Tapi Kak Tari nggak suka."

"Kamu sebelumnya nggak ngomong sama Tari?"

"Nggak kak. Karna ya Bulan tau, kalo ngomong pasti Kak Tari nggak suka."

"Kalo udah tau kakak kamu nggak suka, kenapa masih kamu terima?"

"Karna Bulan kasihan sama Kak Tari. Bulan pernah liat Kak Tari jadi waitress. Dan saat itulah Bunda Tika ngasih rekening ini. Bulan nggak mau bikin Kak Tari makin beban karena uang kuliah Bulan."

Bintang menarik napas panjang. Ia menepuk-nepuk punggung Bulan dengan pelan untuk menenangkannya.

"Ya udah. Untuk saat ini, kita kembaliin aja rekeningnya. Biar Kakak yang antar kamu. Habis itu kamu minta maaf sama Kak Tari. Dia pasti sedih banget sekarang." Bulan mengangguk.

Sebelum Bulan dan Bintang pergi ke rumah Bunda Tika, ternyata Mentari sudah lebih dulu pergi kesana menggunakan motornya.

Ia datang dengan banyak uneg-uneg di kepalanya.

Tok tok tok. Mentari mengetuk pintu rumah Bunda Tika.

"Eh. Non Tari, itu kepalanya kenapa Non kok diperban?" Ternyata yang membuka pintu adalah pembantu Bunda Tika.

"Oh ini. Habis jatuh Buk. Tapi udah nggak papa kok."

"Ya ampun kok sampek kayak gitu Non."

"Hehehe iya Buk."

"O iya, silahkan masuk Non. Pasti cari ibu kan?"

"Iya Buk. Bundanya ada?"

"Ada Non. Masuk aja dulu."

"Bulan nggak ada kesini Buk?"

"Nggak ada Non. Memangnya kenapa? Non Bulan bilang mau kesini?"

"Iya Buk. Mungkin belom nyampek." Meski emosinya tengah memuncak, tetapi Mentari tau bagaimana harus memposisikan dirinya. Ia tidak sembarangan melampiaskan emosinya pada sembarang orang.

"Ya sudah Non silahkan masuk dulu."

"Iya Buk." Mentari masuk dan menunggu Bunda Tika di ruang tamu.

Tak beberapa lama Bunda Tika turun dari lantai atas untuk menemuinya.

"Hai sayang. Tumben tiba-tiba datang kesini. Bulan mana kok kamu sendiri?"

"Iya Bunda. Mentari mau ngomong serius sama Bunda."

"Wow. Soal apa itu?" Bunda Tika duduk disamping Mentari.

"Bun. Mentari tau Mentari belum semampu itu. Mentari juga tau Mentari masih banyak masalah dan ketidakmampuan dalam pekerjaan Mentari. Tapi Mentari mohon sama Bunda, biarin Mentari berkembang. Mentari terimakasih sekali Bunda peduli sama Mentari dan Bulan. Tapi Mentari nggak mau terus-terusan bergantung sama Bunda."

"Sebentar ini maksud kamu gimana?"

"Mentari udah tau kok Bunda ngasih rekening Bunda ke Bulan buat biaya kuliah dia. Bunda nggak perlu lakuin itu Bunda. Mentari masih sanggup biayain kuliah Bulan."

Bunda Tika menarik napas panjang, mencoba mencerna semua perkataan Mentari. "Sayang, Bunda ngerti kamu itu sayang sama Bulan. Kamu mau jadi kakak sekaligus orang tua yang baik buat Bulan. Tapi bagi Bunda, kalian itu tetep anak-anak Bunda. Emang Bunda salah ya memperhatikan kalian. Toh Bunda udah nggak maksa kalian lagi buat tinggal disini. Bunda cuma pengen meringankan beban kamu."

"Sekali lagi Mentari terimakasih buat Bunda. Tapi tolong jangan lakuin ini lagi. Mungkin ada saatnya nanti Mentari minta tolong sama Bunda. Tapi untuk sekarang biarkan Mentari yang membiayai segala kebutuhan Bulan. Mentari janji, Mentari akan berusaha keras biar Bunda nggak khawatir."

"Iya. Bunda nggak akan lakuin itu lagi."

"Makasih ya Bunda."

"Iya."

"Kalo gitu Mentari pulang dulu Bunda."

"Tunggu."

"Kenapa Bunda?"

"Kamu kenal keluarga Purnama?"

Mentari terperanjat, bagaimana mungkin Bunda juga tau soal keluarga Purnama? Padahal selama ia menyelidiki keluarga itu, tidak ada satu orang pun yang ia beritahu. Apa mungkin Bunda Tika juga memiliki kecurigaan yang sama dengan Mentari?

Bersambung....

Langit dan BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang