"Saya tutup, ya," Jidan sudah akan menurunkan ponselnya dari telinga, tapi Gladys kembali berbicara, membuatnya menahan panggilan itu.

"Gue nggak denger ada orang nangis, betewe," ujar perempuan itu. "Jadi bener, itu suara hantu." Lalu tertawa lagi, membuat Jidan sebal lagi. "Kenapa? Lo takut, ya?"

Jidan berdecih. "Saya nggak takut. Saya nggak percaya sama hantu."

"Ah, masa? Coba lihat di kolong tempat tidur. Pasti ada di sana tuh."

"Kamu jangan macem-macem, ya." Jidan berusaha untuk tak melirik ke sana, tapi ucapan Gladys seolah memaksanya untuk melirik ke sana dan berhasil membuatnya merinding.

Perempuan itu kembali tertawa, kali ini lebih keras. "Jiakkkhhh ..., takut beneran."

"Saya nggak takut."

"Mau gue temenin nggak? Gue samper ke kamar, ya?"

"Nggak usah!" Jidan membalas cepat, tegas, dan keras. "Udah, saya tutup. Saya tadi cuma mau nanya, bukan mau ngobrol sama kamu."

"Ya, ya, ya .... Awas tuh di kolong tempat tidur."

"Awas juga tuh hantunya nyamperin ke kamar kamu," balas Jidan lagi.

"Hantunya takut sama cewek cantik kayak gue."

"Hantu nggak pandang bulu."

"Daripada lo tua-tua takut hantu, malu tuh sama bulu kaki." Gladys terkekeh.

"Nggak ada korelasinya hantu sama bulu kaki."

"Adain aja kenapa, sih? Lagian tadi katanya mau udahan, kok ini masih belum dimatiin juga teleponnya? Beneran takut, kan?" Lalu kekehan itu semakin keras, membuat Jidan semakin sebal, tapi gilanya memang ia tak ingin mematikan sambungan telepon itu karena ia jadi tak memikirkan suara tangis itu, bahkan tak terdengar lagi oleh telinganya meski ia sendiri yakin kalau tangisan itu masih terus berlangsung.

"Mau tahu nggak gimana caranya ngusir hantu?" suara Gladys kembali terdengar.

"Gimana?" tanya Jidan, agak enggan, karena tak yakin dengan segala kata yang keluar dari mulu perempuan itu.

"Sebut nama Gladys tiga kali sambil bilang I love you."

Tuh, kan?

Jidan mendesah. Ia memijat pelipisnya. Memang ia yang gila karena berharap pada Gladys. "Kamu pikir, saya percaya?"

"Tapi lo tadinya percaya kalau ada cara buat ngusir hantu, kan?"

Ya, memang gila.

Baru satu minggu tinggal di kostan itu Jidan sudah ketularan jadi gila.

Dan karena sudah tak tahan dengan dirinya sendiri, juga dengan Gladys juga tentu saja, Jidan tanpa kata lagi menutup sambungan telepon itu, dan suara tangisan itu masih terdengar meski taksekeras sebelumnya. Ia mendesah, menyandarkan punggung ke kursi yang sedang diduduki yang sebenarnya kurang enak makanya tadi ia meminta Sadewa untuk membawakan kursi miliknya yang ada di rumah karena gajian masih lama dan ia tak punya uang simpanan yang cukup untuk membeli kursi baru, sedangkan ia butuh kursi yang lebih nyaman untuk mengerjakan seluruh kerjaannya. Tapi sayangnya, Sadewa baru bisa datang ke kostan minggu depan karena minggu ini ia ada jadwal mengjar privat seorang anak SD.

Jidan berusaha mengabaikan suara tangisan itu dan mencoba kembali konsentrasi pada buku pelajaran di atas meja. Malam ini ia berencana mulai menyicil mengumpulkan materi untuk dijadikan soal ujian PTS, tapi baru satu baris buku itu ia baca tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dan itu berhasil membuatnya terperanjat karena suasananya memang sedang tegang dan agak mencekam.

Ruang TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang