bab satu : ceramah nirfaedah

Mulai dari awal
                                    

“Rambutku mesti dibabat, Bu. Kena psoriasis.” 

Setidaknya dia selamat dari pemanggilan dan bisa kabur dari sekolah meski telat. Walaupun demikian, kesal sekali rasanya menjadi orang yang disalahkan. Banyak temannya memakan aksesoris aneh, malah mereka memiliki tindik di lidah, hidung, serta pusar, dan mereka aman-aman saja.

“Cih. Dunia nggak adil. Brengseklah. Setan semua. Bu Lia juga, dasar perawan tua!” maki Ananta kepada langit yang tidak tahu-menahu. Dia juga sadar Bu Lia cuma menjalankan tugas, tapi, dia tidak suka miliknya diambil paksa.

Rasanya Ananta ingin meninju seseorang, pohon pisang juga tidak masalah. Rasa kesalnya saat ini mesti tersalurkan.

Gila aja, gue beli gelang kulit itu dua ratus rebu, cincinnya juga. Ah, kampretlah.

Segala makian keluar dari bibir wanita muda bertinggi 150 sentimeter itu dan dia berjalan sambil menghentak-hentakkan kakinya ke tanah. Jika saja Bu Lia menoleh ke arah kakinya, sudah dipastikan kalau wanita tersebut juga bakal marah. Ananta memakai kaus kaki kelewat pendek, hanya sebatas mata kaki yang tentu saja tidak bakal kelihatan. Tapi, dia selamat di bagian tersebut walau hatinya masih marah.

“Susah masuk SMANSA katanya? Cuih. Si Alan bloon aja bisa masuk, bapaknya orang DPRD. Gue tahu mereka minta memo sama gubernur. Memangnya gue bodoh? Tailah. Anjing! Babik! Kudanil! Binatang kalian semua!”

Ananta menendang-nendang batu kerikil ke segala arah. Dia makin frustrasi karena langit sama sekali tidak mendukung. Siapa, sih, yang mau apes hari ini? Kenapa nasib membuatnya mesti merana?

“Gue nggak melawan.” 

Ananta yang tadinya masih tantrum, kemudian menghentikan langkah saat telinganya menangkap suara yang cukup familiar. Pemilik suara itu pastilah orang yang dia kenal. Apalagi, kemudian terdengar suara lain dengan nada tinggi.

“Bacotlah. Gue tahu lo sengaja nunggu di sini. Ngaku lo!”

Siapa, ya?

Ananta penasaran. Dia mempercepat langkah. Tas ransel bahan kanvas yang mulanya berwarna putih, kemudian dicat warna-warni abstrak olehnya, bergoyang mengikuti gerak tubuh Ananta. Kerincingan yang juga punya fungsi sebagai gantungan risleting tas berbunyi berisik saat dia melangkah. Orang yang melihatnya akan merasa bingung, seorang gadis remaja berpakaian SMA tapi berambut amat cepak bak laki-laki berjalan dengan amat lincah menuju ke arah keributan kecil tidak jauh dari tempatnya berada.

“Lah? Itu, Ben.” 

Biji mata Ananta membelalak begitu rupa saat tahu ada sekitar empat anak SMA berbaju seragam berbeda dengan yang dipakainya sedang memukuli seorang anak laki-laki yang amat dia kenal. Namanya Irsyad Benjamin, teman Bram,  kakak Baby, sobat akrab Ananta. Karena itu juga, dia langsung mencari sebuah kayu balok dan langsung mengayun-ayunkan benda tersebut kepada mereka semua.

“Heei. Brengsek lo pada. Beraninya keroyokan.” teriak Ananta. Tidak hanya kayu, dia juga mengambil beberapa batu berukuran besar dan melempar anak-anak berandal tersebut tanpa ragu.

“Mati lo semua. Beraninya nyerang anak SMANSA.” Ananta mendekat dan menyerang siswa terdekat yang bisa dia gapai. 

Bunyi gebukan kayu terdengar jelas dan Ananta melayangkan tinju dengan mudah setelah dilihatnya Benjamin terkapar. Pelipis anak muda itu berdarah dan tanpa ragu Ananta menerjang mereka semua. Soal berkelahi, dia ahlinya. Siapa saja yang mengganggu orang yang dia kenal tidak bakal bisa kabur dan tidur nyenyak.

Dua orang anak lelaki yang tadi mengancam Benjamin langsung terpental terkena tendangan di perut. Satu lagi jatuh karena pukulan tepat di bawah dagu. Tinggal seorang musuh lagi siap melawan. Namun, Ananta sudah pasang kuda-kuda. Dia meludah ke tanah sebelum beraksi dan hantaman kakinya berhasil mengenai paha bagian dalam anak tersebut hingga dia terpaksa berlutut dengan satu kaki dan berakhir dengan sikutan di hidung.

“Berani lo ama gue? Cucunya Mat Jalil, preman Gang Mencong.” Ananta mengacungkan tinju. 

Mendengar nama Mat Jalil disebutkan, empat bocah itu saling lirik, padahal sebelumnya akan bersatu-padu menyerang cewek tomboy berambut cepak di depannya. 

“Ayo. Sini satu-satu.” Ananta siap untuk menyerang lagi. Dia sengaja tidak menoleh ke arah Benjamin yang kini berusaha duduk. Fokusnya masih ke arah empat berandal di depannya, mangsa bagus setelah dia habis kena ceramah.

“Sori, kami nggak lawan cewek.” salah satu anak lelaki menggeleng. Ananta melihat nama di baju seragamnya, Lukas. 

“Gue emang nggak punya burung, tapi, soal bikin pingsan orang, gue ahlinya.” Ananta membalas. Diskriminasi adalah salah satu penyebab dia berontak dalam hidup ini.

“Sini lo pada.” Ananta berteriak. Dia tidak takut kepalanya benjol. Siapa tahu kesalnya bakal lenyap. Kakinya sudah melangkah, namun, empat bocah laki-laki itu langsung ambil langkah seribu, membuat Ananta memaki sadis ke arah mereka.

“Naa, pusing kepala gue. Dengar lo misuh-misuh, sakitnya nambah dua kali lipat.” suara Benjamin terdengar lirih dan Ananta sadar ada korban yang butuh pertolongan. 

Begitu melihat wajah Benjamin, Ananta merasa pilu. Tapi, dia memilih menertawakan penampilan anak muda kelas dua belas itu. Hanya saja, kemudian tanpa ragu dia menarik tangan Benjamin dan membantunya berdiri.

“Ngapain sih ke sini? Lagian, kenapa juga bisa ketemu mereka?” tanya Ananta tanpa jeda. Benjamin yang sedang menyentuh pelipisnya menoleh, “Disuruh Laela. Tapi, setengah jam lebih gue di sini, dia nggak nongol. Yang datang malah anak Gasing.” 

SMK Gasing alias Gala Sinar Terang, sekolah kejuruan yang penghuninya banyak anak lelaki. Nama lainnya adalah STM. Semua orang tahu kalau di dalam sekolah itu bertebaran calon berandal pembuat ulah, meski tidak semua. Empat yang tadi adalah contoh nyata. Tapi, yang membuat Ananta meradang bukan mereka, melainkan satu nama yang terakhir disebutkan oleh Benjamin.

“Masih aja lo mengharap dia. Lo cuma dimanfaatin, tauk. Dia suka sama Babam.” Ananta berkacak pinggang. Hilang sudah simpatinya. Mending dia langsung pulang saja daripada lama-lama berhadapan dengan si Bodoh Ben.

“Dia nggak suka Bram. Buktinya dia nyuruh gue nunggu.” Benjamin ngotot dan Ananta kemudian menonjok ulu hati pemuda itu hingga Benjamin mundur tiga langkah.

“Goblok. Gitu aja nggak bisa bedain. Biar aja orang bilang lo pintar. Di mata gue, lo manusia paling oon.” sembur Ananta pedas. Dia tidak mau mendengar nama Laela disebut lagi dan yang paling benar adalah berlari meninggalkan manusia bodoh di belakangnya itu, sekalipun Benjamin memanggil dan berkata ingin mengajaknya makan bakso.

“Ogah.”

Dia tidak mau tertimpa sial dua kali dan yang paling penting adalah kabur dari situ secepat yang dia bisa.

***

Ramein komen.
Itu aja.

Rumah Naa dan BenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang