"Chanyeol? Kau mendengarku?" Sehun kembali bertanya, berharap kali ini mendapat jawaban yang ia harapkan.
"Iya." Jawab Chanyeol tanpa mengalihkan pandangannya dari buku. Sehun kali ini tak berniat untuk protes dan balas menatap Chanyeol dengan penuh perhatian. Ia mengerti dan tak ingin mendesak. Mungkin jika waktunya tiba Chanyeol akan menjelaskan bagaimana cincin yang diberikan oleh Ibu mereka beberapa waktu lalu, kini sudah melingkar pada salah satu jari manis Wendy. Hingga waktu itu tiba, Sehun bertekad untuk mengerti keadaan Chanyeol.
Sehun tersenyum geli melihat Chanyeol yang sesekali mencuri pandang ke arah toko diseberang café, kedua mata besarnya bergerak-gerak mencari keberadaan Wendy yang masih berkeliling di dalam toko. Sehun yang tumbuh besar bersama Chanyeol masih merasa tidak familiar dengan sosok Chanyeol yang kini terlihat menyunggingkan sedikit senyum sambil melambai ke arah wanita pujaannya. Rupanya, cinta bisa meluluhkan hati sekeras batu milik Chanyeol. Dan Sehun yakin bahwa Wendy adalah apa yang selama ini dicari oleh Chanyeol.
Setidaknya itulah yang diyakini oleh Sehun, tanpa bisa menangkap arti tatapan milik Chanyeol tiap kali beradu tatap dengan Wendy. Sehun tak akan pernah tahu atau bahkan mengerti pikiran-pikiran yang tengah menggerogoti Chanyeol dari dalam, yang perlahan-lahan menghancurkan dirinya sendiri. Sehun tak akan pernah mengerti bagaimana Chanyeol berusaha menelan rasa sakit itu sendirian. Sehun tak akan pernah mengetahuinya, karena Chanyeol terlalu hebat dalam menyembunyikan luka menganga pada hatinya tersebut.
*
Dari dalam toko, Wendy sesekali mencuri pandang pada Chanyeol yang duduk berseberangan dengan Sehun di dalam café. Kedua pria itu menunggu dengan sabar hingga Wendy dan Irene selesai membeli beberapa baju dan pernak-pernik bayi. Tanpa sadar Wendy tersenyum kecil saat melihat sebuah baju bayi bertuliskan 'I Love Daddy'. Dibalik senyum itu, Wendy menyembunyikan rasa pahit. Ada keinginan yang tak bisa ia kendalikan, ada harapan yang harus ia kubur jauh-jauh. Wendy membayangkan dirinya melakukan semua ini bukan untuk Irene, melainkan untuk dirinya sendiri -untuk bayinya sendiri-. Bayi yang tak mungkin bisa ia miliki bersama dengan Chanyeol.
Sekali lagi ia mencuri pandang ke arah Chanyeol yang masih membaca buku sambil menyesap secangkir kopi. Ada sesuatu yang tak bisa disembunyikan dari tatapan Chanyeol, dan Wendy menangkap arti tatapan tersebut. Sebuah kesedihan mendalam dan pria tersebut kini tengah terjebak dalam pikirannya sendiri. Wendy bisa melihat dengan jelas tatapan Chanyeol yang tak sepenuhnya terfokus pada buku yang ada ditangannya. Ada saat-saat dimana Chanyeol memandang kosong ke arah luar jendela, melihat ke dalam toko tanpa benar-benar melihat. Tatapannya kosong.
Melihat tatapan menyakitkan itu membuat hati Wendy berdenyut nyeri. Betapa besar keinginan Chanyeol untuk memiliki keluarganya sendiri, memiliki seorang anak laki-laki yang sangat mirip dengannya, untuk bisa memiliki pengalaman dan kebahagiaan menjadi seorang Ayah. Dan Wendy tak bisa memberikan itu untuk Chanyeol. Meski ia sendiri tahu bahwa ini bukanlah salah siapapun, karena ia tak bisa menyalahkan siapapun atas penyakit yang mereka idap. Namun ada rasa bersalah yang amat besar. Perasaan bersalah yang menyelimuti rasa cinta yang begitu besar untuk Chanyeol. Wendy merasa tak berdaya karena telah mengecewakan satu-satunya pria yang ingin sekali ia bahagiakan. Ia ingin sekali membalas semua kebaikan dan kebahagiaan yang telah ia terima dari pria itu.
"Wendy, menurutmu lebih bagus yang mana? Kuning atau ungu?" suara Irene berhasil menarik Wendy kembali pada kenyataan. Wendy kembali tersenyum sambil mengambil piyama berwarna kuning dari tangan Irene dan memasukkannya ke dalam keranjang.
"Sini, biar aku yang bayar. Ini hadiah untuk calon keponakanku." Wendy mengambil keranjang baju dari tangan Irene dan segera berjalan menuju kasir sebelum Irene protes. Tanpa menghiraukan panggilan Irene, Wendy terus melangkahkan kakinya. Hal itu ia lakukan agar bisa menghindari Irene yang akan melihat kedua matanya yang kini tengah berair. Tiba-tiba sebuah gelombang emosi yang besar menghantamnya. Sebuah perasaan sedih yang terlalu dalam karena ia sadar bahwa ia tak akan pernah bisa memberikan satu-satunya hal yang diinginkan oleh pria yang begitu ia cintai tersebut. Cinta tak cukup untuk membuatnya kuat, karena tak perduli seberapa besar rasa cinta yang mereka miliki untuk satu sama lain, tak akan pernah bisa mengubah kenyataan.
KAMU SEDANG MEMBACA
From A Man Who Truly Loves You
FanfictionDia dikenal sebagai seorang publik figur yang menutup rapat kehidupan pribadinya, sejalan dengan kepribadian Introvertnya. Ia tak akan pernah mengumbar kehidupan yang ia jalani, sekalipun bercerita pada orang tuanya mengenai penyakit Thalasemia yang...
CHAPTER 29
Mulai dari awal