Layla menggeleng. "Aku turun juga aja, Mas. Gak enak sama keluarga kamu kalau gak ikut sarapan bareng."

Jawaban Layla membuat Aldimas menoleh. "Gak perlu khawatir. Kamu itu istri aku, gak ada kewajiban buat berbakti sama keluarga ini."

"Tapi, Mas—"

"Layla," potong Aldimas. "Udah aku bilang, peran kamu cukup sampai jadi istri aku, bukan sebagai menantu."

"Kalau aku bersikap kurang ajar begitu, gimana sama tujuan kamu, Mas? Kamu lupa dengan tujuan awal pernikahan ini?"

Layla tidak tahu apa yang salah dengan pertanyaannya, atau apa yang salah dengan sikap Aldimas hari ini. Setelah ia berbicara begitu, tubuh Aldimas tampak menegang. Dalam beberapa detik, pria itu hanya menatap Layla dalam ekspresi datar, sebelum berbalik badan dan mengambil kemeja hitam dan celana panjang.

"Ya, terserah kamu aja," ucap Aldimas kemudian.

Layla memiringkan kepalanya. Kenapa dia jadi dingin lagi?

Akhirnya, Layla memutuskan untuk turun dari kasur dan beranjak ke kamar mandi. Ia membasuh seluruh tubuhnya sambil memikirkan kejadian semalam. Ia tidak menyangka telah melakukan itu dengan Aldimas—seseorang yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

Namun kemudian, pikirannya kembali pada ucapan Aldimas tadi. Pria itu mengubah mood-nya dengan cepat. Ia jadi menduga, apa ada yang salah dengan ucapannya tadi?

Setelah mandi, Layla membalut tubuhnya dengan handuk. Ia sedikit mengintip dari balik pintu kamar mandi, dan ternyata Aldimas sudah tidak ada di kamar itu. Layla hanya melihat pakaiannya semalam—yang ia kenakan untuk pesta—sudah terlipat rapi dan wangi di atas kasur. Sepertinya asisten rumah tangga sudah mencuci dan menyetrikanya sampai rapi.

Karena tidak ada persiapan untuk menginap, Layla hanya mengenakan pakaian itu tanpa berdandan lebih dulu. Ia juga tidak sempat melirik cermin, khawatir keluarga Aldimas sudah menunggu lama di meja makan. Benar saja, begitu turun ke meja makan, Aldimas sudah ada di sana bersama opa, Satria, dan ibu tirinya.

"P-pagi," sapa Layla gugup, dan langsung mengambil duduk di sebelah Aldimas yang kosong. "Maaf saya terlambat."

"Ya, sangat mencerminkan menantu kesayangan keluarga Mandrawoto," balas Farah—ibu tiri Aldimas—sambil mengangkat cangkir tehnya. Nada bicaranya menyindir Layla.

Layla hanya menundukkan kepala.

"Apa keluarga kamu gak pernah ngajarin gimana bersikap di keluarga suami? Bangun siang, gak dandan, dan gak mau repot-repot tutupin bekas percintaan kalian," tambah Farah semakin tajam.

Mata Layla membulat dan refleks memegang lehernya. Ia pun melirik ke arah Aldimas yang juga sedang meliriknya. Namun, berbeda dengan Layla yang sudah panik, Aldimas justru terlihat biasa saja. Pria itu malah tersenyum miring ketika menyadari tanda merah yang memenuhi leher Layla.

"M-maaf...," bisik Layla pelan.

"Ya, maaf," imbuh Aldimas. "Anda bisa marah ke saya, karena saya yang buat Layla bangun telat dan dipenuhi kissmark itu."

"MAS!" Layla bergumam geram, tangannya sudah mencubit paha Aldimas.

"Hm? Kan, benar begitu," sahut Aldimas enteng.

Percakapan antara Layla dan Aldimas menjadi pusat perhatian di meja makan pagi itu. Wajah Farah memerah karena kesal, sedangkan sang opa justru tersenyum lebar.

"Udahlah, Farah. Pengantin baru wajar kalau masih hangat-hangatnya," komentar sang opa, yang sontak membuat Layla dan Aldimas berhenti. "Kalau kayak gini, kan, kita gak perlu nunggu lama buat dapat kabar soal cicitku."

Baik Layla maupun Aldimas tidak ada yang menjawab. Layla hanya tersenyum canggung sambil menutupi lehernya dengan rambut, sedangkan Aldimas kembali menikmati sarapan. Satu-satunya yang luput dalam percakapan mereka adalah sosok Satria di sana. Layla bahkan tidak menyadari keberadaannya sebelum pria itu memanggil Aldimas.

"Oh, iya, Kak Aldi. Ulang tahun Kakak sebentar lagi, kan? Apa udah ada rencana mau dirayakan seperti apa?"

Layla mengerutkan dahi. Ulang tahun? Kapan?

Aldimas berhenti mengunyah. Tatapannya langsung mengarah lurus kepada Satria. "Kenapa kamu ingin tau?"

Satria mengangkat kedua bahunya. "Siapa tau aku bisa bantu." Lalu, perhatiannya berpindah kepada Layla. "Atau Layla udah ada ide buat pesta ulang tahun Kak Aldi?"

Layla tidak tahu apakah Satria sedang mengejeknya atau serius bertanya. Waktu pertama kali datang ke rumah pun Satria langsung menodongnya dengan pertanyaan pernikahan kontrak. Lalu, untuk apa dia bersikap peduli sekarang?

Satria seolah memakai topeng yang begitu tebal. Layla tidak bisa membaca maksud hatinya. Pria itu tersenyum, tapi tidak ada emosi di dalamnya. Entah itu tulus atau tidak. Dia adalah orang yang mengerikan.

Oleh sebab itu, Layla tidak ingin lengah lagi kali ini.

"Udah, kok. Tapi kita kayaknya mau rayain berdua aja. Iya, kan, Mas?" Layla menyentuh tangan Aldimas yang ada di atas meja.

Layla mengerutkan dahinya, berharap Aldimas menjawab saja apa yang ia mau.

Aldimas berdeham. "Iya, kayaknya begitu."

"Apa gak sayang?" Opa bertanya. "Ini bagus loh, sekalian kamu bisa perkenalkan Layla secara resmi ke beberapa rekan bisnis."

"Itu bisa dibicarakan nanti. Saya gak mau buat Layla gak nyaman."

Layla tertegun. Apakah Aldimas tulus mengatakan itu?

***

"Soal ulang tahun...."

"Stop!" Layla mengulurkan kelima jarinya ke wajah Aldimas yang sedang menyetir. "Jangan dilanjutin."

Dengan satu tangannya, Aldimas meraih pergelangan tangan Layla. "Aku gak maksud buat gak kasih tau. Bagiku, ulang tahun gak sepenting itu."

Layla tidak menyahut, malah sengaja mengalihkan pandangannya ke arah jendela.

"Layla," panggil Aldimas pelan, tangannya masih menggenggam tangan Layla.

"Hm."

"Jangan marah....."

Layla mendengus, lalu mengalihkan tatapannya ke Aldimas. "Aku tau Mas pasti gak akan bilang kalau aku gak tanya, kan?"

Aldimas menelan air liurnya sendiri. Layla benar-benar menembaknya tepat di kepala.

"Untung aja kali ini aku berhasil handle serangan Satria," lanjut wanita itu.

Aldimas tidak menyangka kalau keadaan bisa berbalik secepat ini. Saat di rumah opanya tadi, Aldimas merasa jengkel karena Layla terus mengungkit soal kontrak pernikahan mereka. Namun kemudian, ia terkejut sendiri saat Satria menyinggung soal ulang tahunnya. Sekarang, Aldimas malah dibuat panik karena kata-kata Layla berbalik ketus kepadanya.

"Maaf." Aldimas mengusap punggung tangan Layla dengan ibu jarinya.s

"Pokoknya, mulai saat ini, aku yang akan cari tau sendiri! Jadi, Mas harus jawab semua pertanyaan dari aku. Paham?"

Aldimas mengangguk tanpa berpikir. Kalau biasanya dia yang sering menggunakan itu kepada para bawahan, kali ini dia yang harus menerima. Jadi begini rasanya diperintah, ya?

"Good." Layla hanya mengangguk sekali, sebelum mengalihkan pandangan ke jendela lagi.

"Layla."

Layla hanya berdeham.

"Tapi, jangan marah lagi."

"Aku gak marah."

"Kalau gitu, lihat sini."

Layla berdecak. "Apa, sih? Mas nyetir aja yang benar."

"Layla...." Aldimas menarik rem tangannya saat berhenti di lampu merah.

"Iiih!" Layla bergumam jengkel, lalu menoleh juga. "Nih, nih, aku lihat, nih!"

Cup!

Pria itu mendaratkan satu kecupan di bibir Layla.

In The Name of Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang