"Paspor sama visa aman?"
"Kayaknya sih aman. Semoga aja aman!"
Nanda manggut0manggut. "Rencana S2-nya jadi ditunda beneran?"
"Katanya sih gitu. Dia bilang, nunggu ada pengganti sing nggenah."
Nanda tertawa kecil. "Yo wis, nanti tak telepone areke. Suwuuun, ngono. (Ya sudah, nanti aku telpon dia. Makasiiih, gitu)"
Mbak Lita ikut tertawa. "Urusanmu durung mari, a? (Urusanmu belum selesai?)"
Nanda menggelengkan kepalanya. "Belum, Mbak. Rodo angel iki. (Agak sulit ini)"
Mbak Lita mendecak simpatik. "Yo wis. Semoga urusan kamu juga segera selesai. Mesakne bojomu iki lho! (Kasian istrimu ini lho!"
Nanda hanya bisa tersenyum kecil. "Titip Salsa juga ya, Mbak."
"Iyo, iyooo. Salsa banyak yang jaga kok di sini. Tenang ae. Nanti kalau nggak betah di rumah sendiri, aku ajak nginep di rumah."
Nanda tertawa. Menghormati usaha Mbak Lita menghiburnya. Kalaupun itu terjadi, dia tahu bagaimana istrinya itu. Perempuan itu pasti menolak karena lebih memilih memendam sendiri perasaan tidak nyamannya ketimbang merepotkan orang lain.
"Makasih, Mbak. Aku tanpamu butiran debu lah, pokoke, Mbak."
Mbak Lita memutar bola matanya. "Lebay. Udah, ya, Bos. Balik kerja lagi." perempuan itu melambaikan tangan pada Nanda, yang dibalas lelaki itu dengan lambaian tangan serupa. Layar tersebut kemudian menampakkan wallpaper tablet, pertanda sesi telepon mereka ditutup.
Nanda menghela napas panjang sekali lagi. Kepalanya pening. Ia melipat lengan di dada, lalu merebahkan kepalanya di sandaran kursi. Merapal doa dalam hati, berharap semua ini segera terlewati.
***
Nanda tahu, di mata hampir semua orang kantor ini, dia adalah anak bau kencur. Hanya karena dia adalah putra Romo satu-satunya, bukan berarti semua orang secara otomatis akan memberi perlakuan serupa. Apalagi dia nyaris tidak pernah menginjakkan kaki di tempat ini. Kalau dihitung jari, sepertinya cukup dengan satu tangan saja. Makanya dia tidak heran ketika banyak orang menatapnya iba sekaligus skeptis.
Nanda juga tidak terlalu kenal dengan rekan-rekan kantor Romo. Termasuk Om Panji dan Pak Harto. Teman-teman dekat Romo yang dia kenal cukup baik hanya Om Hari dan Om Waluyo. Itupun karena beliau berdua sudah berteman dekat dengan Romo sejak kecil. Walaupun bidang yang digeluti mereka berbeda-beda, tapi sesekali Nanda masih melihat sosok-sosok tersebut bertandang ke rumah mereka.
Praktis, yang Nanda kenal di kantor ini hanya kerabat mereka seperti Om Hadi dan Pakdhe Hermawan, lalu sepupu-sepupunya seperti Mas Rendra, Mas Wirya, Mas Caraka, dan Mas Rian. Sayangnya, mereka justru sangat sulit diajak bekerjasama. Terbukti sejak kedatangan mereka hari wafatnya Romo, hingga detik ini, mereka bersikap apatis pada Nanda. Bertingkah seolah Nanda hanya anak magang yang tidak layak sedikit saja perhatian dari mereka.
Nahasnya, Nanda sudah nyaris putus asa dengan semua berkas dan bukti yang ada di tangannya. Entah karena memang Romo bukan orang baik seperti yang selama ini ia pikir, atau seluruh jajaran direksi—termasuk Pakdhe Hermawan yang menjabat sebagai Komisaris—bermain sangat rapi dan menjebak Romo. Bukan hanya keluarganya, bahkan Om Panji dan Pak Harto seolah menyudutkan Romo. Terutama dalam 'kasus' penebusan tanah di Kendal.
Sebagai Direktur Utama, Romo punya kendali menandatangani pembelian aset dan perjanjian kerjasama. Tanah seluas 20 hektar di Kendal itu contohnya. Menurut arsip kantor dan catatan keuangan, tanah itu adalah aset perusahaan. Tapi mengapa sertifikat tanah tersebut diatasnamakan nama Romo? Ketika Nanda mengkonfirmasi ke pemilik sebelumnya, mereka membenarkan bahwa yang berhubungan dengan mereka selama ini hanya Romo, tanpa perantara lain. Om Panji sebagai sekretaris Romo pun tidak tahu menahu, akan masalah tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Exit Plan
RomanceTidak seperti di film-film, Nanda dan Salsa jatuh cinta secara perlahan. Saling mengenal, menemukan kesamaan dan kecocokan, lalu memutuskan untuk menikah. Mereka pikir, berbekal cinta saja sudah cukup. Mereka pikir, berbekal kedewasaan sudah cukup...
Chapter 21: Old Face
Mulai dari awal