CHAPTER 37 | Insiden Di Rumah Aralie

Mulai dari awal
                                    

"Kamu emang jago kalau soal menata rambut," puji Lily sambil tersenyum, matanya masih terpaku pada bayangan Delynn di cermin. Setiap sentuhan dari kekasihnya terasa begitu telaten, membuat Lily merasa dimanjakan. "Enggak tahu kenapa, kalau aku sendiri yang ngelakuinnya pasti berantakan."

Delynn tertawa kecil, suara lembutnya bergema di ruangan. "Mungkin karena aku udah sering latihan," balasnya sambil mengusap rambut panjang Lily yang begitu halus sebelum mengecup puncak kepalanya dengan kasih sayang. "Dan aku juga suka banget, rambut kamu tuh lembut kayak rambut bayi, gampang banget diatur."

Lily tersipu mendengar pujian yang tulus itu. "Makasih, Del," katanya pelan, suaranya terdengar lembut namun penuh dengan perasaan. Setiap perhatian kecil dari Delynn selalu berhasil membuatnya merasa istimewa, seolah dirinya adalah sosok yang paling berarti di dunia. Lily merapikan sedikit rambutnya dengan jari-jari halusnya, memastikan semuanya tampak sempurna, sebelum akhirnya berdiri dari kursi rias dan berbalik menghadap Delynn.

Delynn menatap Lily dengan kekaguman yang tak tersembunyi. "Kamu cantik banget hari ini," ucapnya sambil mengamati Lily dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapan matanya dipenuhi dengan rasa sayang yang begitu mendalam. "Setiap hari sih kamu selalu cantik, tapi hari ini kamu kelihatan ekstra manis." Ada kejujuran dalam suara Delynn yang membuat jantung Lily berdetak lebih kencang.

Lily tertawa kecil, berusaha menahan perasaan gugup yang tiba-tiba menyergapnya. Pujian Delynn selalu memiliki cara untuk membuat pipinya memerah. Ia menundukkan kepala sejenak, mencoba menyembunyikan rona merah yang kini menyelimuti wajahnya sebelum kembali memandang Delynn. "Ah, kamu emang jago ngegombal. Tapi makasih banyak, ya. Kamu juga hari ini enggak kalah cantik dan menawan, Del," balasnya dengan senyum malu-malu yang membuat Delynn tak bisa menahan tawa kecilnya.

Delynn tersenyum lebar, menampilkan kegembiraan yang tak bisa disembunyikannya. Tatapannya begitu hangat, penuh cinta, seperti tak pernah bosan menatap sosok di hadapannya. Kemudian, dengan gerakan halus, ia mendekatkan tubuhnya sedikit ke arah Lily, menciptakan jarak yang nyaris tak ada di antara mereka. Delynn memiringkan wajahnya, membiarkan matanya menatap Lily lebih dalam, seolah kata-kata tak lagi cukup untuk menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. "Aku enggak ngegombal, Lily," suaranya lembut namun tegas, penuh dengan kejujuran. "Aku cuma bilang yang sebenarnya aja."

Setelah itu, tanpa banyak bicara lagi, Delynn menempelkan bibirnya ke bibir Lily dalam sebuah ciuman yang lembut. Sentuhan itu bukan sekadar ciuman biasa, tapi lebih seperti pertemuan dua hati yang saling memahami, seolah dunia di sekeliling mereka menghilang, hanya menyisakan kehangatan dan rasa cinta yang melingkupi mereka berdua.

Lily langsung memejamkan matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam ciuman itu. Setiap detik yang berlalu terasa begitu berharga, seolah waktu berjalan lebih lambat. Tangannya perlahan naik, melingkari leher Delynn dengan sempurna, merasakan betapa hangat dan aman pelukan kekasihnya. Sementara itu, tubuhnya semakin menyatu dengan Delynn, mengikuti irama ciuman yang semakin dalam. Delynn, yang membuka sedikit matanya, mencuri pandang ke arah Lily. Dalam diam, ia tersenyum, melihat betapa pasrahnya Lily di dalam pelukannya, memberikan seluruh kepercayaannya kepada Delynn. Tatapan lembut Delynn tak pernah lepas dari wajah Lily yang terpejam, dan senyum tipis menghiasi wajahnya saat ia memperdalam ciuman itu, merasakan setiap detik kebersamaan mereka.

Tangan Delynn yang kuat tapi lembut memeluk pinggang Lily lebih erat, seolah tak ingin momen ini berakhir begitu cepat. Ia menikmati keintiman itu, meresapi setiap sentuhan dan kehangatan yang mereka bagi. Ciuman mereka perlahan berubah menjadi semakin intens, penuh perasaan, membuat mereka berdua terhanyut dalam perasaan yang begitu dalam.

Namun, di tengah keintiman itu, Lily perlahan menarik diri. Nafasnya sedikit terengah, berusaha mengontrol kembali dirinya. Meskipun hatinya ingin tetap larut dalam momen itu, pikiran rasionalnya menyadarkannya akan waktu. "Delynn... u-udah... nanti kita bisa terlambat," bisiknya dengan nada lembut namun sedikit gelisah. Meski ia tahu bahwa mereka harus pergi, suaranya terdengar sedikit enggan, seolah tak ingin benar-benar berpisah dari momen yang begitu hangat ini. Lily mencoba mengingatkan Delynn bahwa mereka masih punya rencana untuk bertemu teman-temannya, dan waktunya hampir habis.

LILYN: Never Let Me GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang