Dibawah Langit Yang Sama

Mulai dari awal
                                    

Luna menggenggam tasnya erat-erat, menunduk sejenak sebelum akhirnya berkata pelan, "Nggak apa-apa," dengan senyum yang dipaksakan.

Tapi, dalam hatinya, dia tahu bahwa ada sesuatu yang telah berubah.

Setelah keluar dari kelas, Luna berjalan dengan langkah cepat, meninggalkan koridor sekolah yang terasa semakin menekan. Dia merasa seolah udara di sekelilingnya berubah menjadi lebih berat, setiap langkahnya membuat dada semakin sesak.

Dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, "Mereka nggak bermaksud jahat. Mungkin aku yang terlalu baper." Tapi kata-kata itu terdengar hampa di kepalanya. Bagaimana mungkin dia bisa mengabaikan apa yang baru saja didengarnya?

Dia berhenti di depan jendela besar di lorong, menatap keluar dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Selama ini, Luna selalu berpikir bahwa teman-temannya memperlakukannya dengan tulus, walaupun dia berbeda. Tapi setelah kejadian tadi, dia merasa seperti orang asing, seolah-olah kehadirannya hanya menjadi beban bagi orang lain.

Sebuah pikiran muncul di benaknya, "Apa mereka sebenarnya kasihan sama aku? Apa mereka hanya berpura-pura selama ini?"

Air mata mulai menggenang di sudut matanya, tapi dia cepat-cepat mengusapnya sebelum ada yang melihat. Dia tidak ingin terlihat lemah. Tidak lagi.

---

Di tengah perjalanan pulang, Luna melewati taman kecil di dekat sekolahnya. Biasanya, dia suka berhenti sejenak di sana untuk menghirup udara segar atau melihat anak-anak kecil bermain. Tapi hari ini, taman itu terasa kosong dan sunyi, seolah-olah mencerminkan hatinya yang sedang dilanda kekecewaan.

Luna memperhatikan sepasang anak yang bermain ayunan. Salah satu dari mereka jatuh, tapi dengan cepat temannya mengulurkan tangan untuk membantunya bangkit. Pemandangan itu membuat Luna berhenti dan berpikir, "Kenapa rasanya seperti semua orang punya seseorang yang selalu siap membantu mereka bangkit, kecuali aku?"

Saat Luna berjalan lebih jauh, dia melihat cermin toko di pinggir jalan dan sekilas melihat pantulan dirinya. Biasanya, dia tidak terlalu memperhatikan penampilannya, tapi kali ini dia berhenti. "Apa ini yang mereka lihat? Seseorang yang... berbeda?" pikirnya, melihat langkah kakinya yang sedikit tidak seirama. Tatapan mata di cermin terasa begitu asing.

Setiap hari adalah perjuangan untuk tidak membenci dirinya sendiri. Setiap cermin yang dia lewati adalah pengingat tentang siapa dia. Tapi di balik semua itu, ada kekuatan yang terus tumbuh,kekuatan untuk bertahan, meski hatinya berkali-kali hampir menyerah.

Luna melanjutkan perjalanan dengan kepala tertunduk, berusaha menghindari kontak mata dengan orang-orang yang lewat.

---

Setelah sampai di rumah, Luna langsung menuju kamarnya tanpa mengatakan apa pun. Biasanya, dia akan duduk di ruang tamu atau membantu ibunya sebentar, tapi kali ini dia merasa ingin sendiri. Ketika pintu kamar tertutup, semua perasaan yang dia tahan sepanjang perjalanan akhirnya meledak.

Dia duduk di tepi tempat tidurnya, meremas seprai dengan tangan gemetar. "Apa mereka semua merasa begitu? Selama ini aku cuma jadi beban buat mereka?" pikirnya. Air matanya mulai mengalir, tapi dia segera menghapusnya, mencoba untuk tetap tegar seperti biasanya. Namun, kali ini rasanya lebih sulit.

Setelah beberapa saat, pintu kamar Luna diketuk pelan. Ternyata Yejin yang masuk. Tanpa berkata-kata, Yejin duduk di sebelah Luna. Meskipun mereka tidak selalu bicara banyak, Yejin bisa merasakan ada yang tidak beres.

"Kenapa kamu pulang lebih cepat hari ini?" tanya Yejin, suaranya lembut tapi penuh perhatian.

Luna hanya menggeleng, tidak ingin mengungkapkan apa yang terjadi di sekolah tadi. Tapi tatapan mata Yejin membuatnya merasa sedikit tenang. Mereka berdua duduk dalam keheningan, dan itu sudah cukup bagi Luna untuk merasa bahwa dia tidak sepenuhnya sendirian.

Jejak Di Antara Bayangan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang