16. Forgive, but?

Mulai dari awal
                                    

"Nanti." Bumi memotong ucapan anaknya. "Ayah pasti akan kasih penjelasan kenapa keputusan ini akhirnya menjadi jalan yang Ayah ambil. Ayah nggak bermaksud untuk membela diri dan Ayah tahu apapun alasannya tentu nggak membenarkan perbuatan Ayah pada saat itu. Dan semoga dengan bertambahnya usia Kai nanti - anak Ayah ini bisa sedikit memahami." Ucapnya seraya mengelus rambut anak lelakinya.

"Sekali lagi Ayah minta maaf ya, Nak."

Kaivan menatap lamat-lamat Ayahnya dari samping. Begitu banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, isi kepalanya dipenuhi banyak praduga dan berjanji akan ia tanyakan kepada sosok yang saat ini berada dihadapannya. Namun ini bukanlah waktu yang tepat, seperti yang Bumi bilang kalau Ayahnya sendiri yang akan menceritakan semuanya.

Lagi, Kaivan harus menunggu.

Hingga tanpa terasa - kereta besi berwarna putih itu mulai berbelok memasuki sebuah bangunan besar. Halaman yang sangat luas dengan pohon-pohon besar yang bayangannya memberikan keteduhan bagi siapapun yang berlindung dibawahnya.

Sejuk. Tenang. Dan nyaman.

Panti asuhan?

~

Selena menggulir layar ponselnya. Lalu menghembuskan nafasnya pelan setelah membaca satu pesan masuk dari mantan suaminya yang dikirim sejak satu jam lalu. Sebuah pesan yang berisi izin jika kemungkinan ia akan pergi dengan anak lelakinya hingga menjelang malam.

Sebenarnya Bumi sudah meminta izin sejak semalam dan Selena sudah mengizinkannya. Tetapi soal berapa lama mereka pergi tentu tidak lelaki itu lampirkan, sehingga ada rasa kesal saat lelaki itu mengabari bahwa akan membawa puteranya hingga selama itu.

Bukan. Bukannya Selena tidak mempercayakan Bumi untuk bersama anak lelakinya, hanya saja... ada rasa yang tidak bisa wanita itu ungkapkan.

"Hei. What's wrong?" jentikan jari membuyarkan lamunan Selena. Dan otomatis membuat wanita itu menoleh ke arah pelaku yang berhasil mengambil atensinya. "Ngelamun?" Tebaknya.

Selena menggeleng. "Udaranya enak ya, nyaman juga tempatnya." ujar Selena sambil memperhatikan sekeliling.

"Tempat ini memang nyaman." Si lelaki duduk tepat disebelah Selena, setelah meletakkan dua gelas jus jeruk dan satu buah kukis cokelat. "Saya biasanya selalu kesini kalau lagi butuh tempat untuk healing." Mata lelaki itu tertuju kehadapan, memandangi dedaunan yang bergoyang akibat hembusan angin.

"Saya kira pengusaha itu kalau healing ke luar negeri,"

Narendra terkekeh. "Bosen," akunya jujur. "Soalnya kalau keluar negeri biasanya selalu ngurusin kerjaan, jadi kalau healing-nya kesana juga jadi seperti bukan healing. Yang ada pening..."

"Ya healingnya jangan sendirian dong." usul Selena yang membuat Narenda mengalihkan pandangan ke arahnya.

"Sama siapa?"

Selena ikut menoleh. "Apanya?"

"Healing-nya?"

Selena tertawa kecil. "Ya terserah kamu. Bawa teman-teman bisa, atau keluarga juga bisa. Nggak mungkin kan pengusaha nggak punya banyak teman?"

Narendra mengangguk singkat, "Teman banyak. Musuh juga banyak," ia terkekeh saat Selena melotot. "Nggak musuh sih, lebih ke - saingan bisnis?"

"Keluarga saya sibuk sama kehidupannya. Kalau mau bawa ayah sama ibu saya - mereka kayaknya nggak bakal mau."

"Kenapa?" tanya Selena yang kemudian seakan sadar jika pertanyaannya terlalu berlebihan, wanita itu lantas mengucapkan maaf. "Kalau teman-teman?"

"Teman-teman saya udah banyak yang menikah. Yang sudah pasti kalau pergi sama mereka agak sulit. Kamu tahu orang yang sudah menikah itu prioritasnya adalah keluarganya, jadi dari pada jalan-jalan sama saya sih kayaknya mereka lebih memilih pergi sama istri dan anak-anaknya. Iya kan?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 36 minutes ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang