Tangannya terulur, membuka pintu lemarinya yang berisi deretan pakaian tertata rapi. Namun, melihat deretan baju itu tak membuat hatinya lebih ringan. Sena menggeser beberapa hanger, menatap gaun-gaun cantik yang biasanya membuatnya bersemangat. Namun, hari ini berbeda. Setiap baju terlihat kusam di matanya, seolah semua warna di dunia tiba-tiba memudar.

Ia mengambil satu gaun berwarna pastel lembut, menatapnya sejenak di depan cermin.

"Apa cocok ... buat makan malam?" gumamnya pelan. Gaun itu biasanya menjadi pilihan favoritnya, tapi malam ini terasa berbeda. Gaun itu tak lagi membawa rasa percaya diri atau kebahagiaan. Sena menggantungkan gaun itu kembali dengan desahan lelah.

Tidak ada satu pun yang bisa mengembalikan energi yang hilang darinya sejak sore tadi. Rasanya seperti tubuhnya mengisi ruangan, tapi jiwanya entah di mana. Pikiran tentang makan malam bersama Leon bahkan tak bisa mengusir kekosongan yang memenuhi hatinya.

Ponselnya bergetar di atas tempat tidur, menandakan pesan baru masuk. Sena melirik, melihat nama Leon di layar. Pesan itu singkat dan manis, seperti biasa.

'Jangan lupa jam 8! Udah siap-siap? Aku ga sabar ketemu kamu nanti!'

Bacaannya seolah membuat Sena tenggelam dalam perasaan bersalah. Leon tidak tahu apa yang sedang terjadi, dan Sena pun tak ingin merusak malam mereka dengan berita buruk ini.

Dia menunduk, merasa tak sanggup membalas pesan Leon saat itu. Tangannya lemas, pikirannya kalut. Sena menenggelamkan wajah di kedua telapak tangannya, mencoba untuk mengendalikan napas yang mulai tersengal.

"Kamu bisa ... Kamu pasti bisa Sena." bisiknya pelan, entah kepada siapa. Tapi kata-kata itu terdengar hampa. Tak ada semangat yang menyertai.

Sena meletakkan ponselnya di meja kecil dekat tempat tidur, lalu kembali menatap lemarinya yang terbuka lebar.

Setelah beberapa saat menatap hampa, ia memutuskan untuk mengambil salah satu setelan sederhana dari lemarinya-sebuah gaun hitam polos yang tak terlalu mencolok. Ia tahu ini bukan pilihan yang akan ia ambil biasanya, tapi setidaknya gaun ini nyaman, dan ia tidak perlu memikirkannya terlalu lama. Sena menggantungkan gaun itu di depan cermin, namun tak segera memakainya.

Tiba-tiba, ponselnya kembali bergetar. Kali ini, panggilan suara dari Leon. Sena menatap layar ponsel, ragu apakah ia harus menjawab atau tidak. Akhirnya, dengan berat hati, ia menggeser layar dan mengangkat panggilan itu.

"Halo ... Leon," Suaranya terdengar lemah, hampir tidak terdengar.

"Hai! ..."

"Sena? Are you oke? Suara kamu ..." Leon tampak khawatir di ujung sana.

Sena terdiam sejenak, merasakan ada sesuatu yang menekan dadanya. Ia berusaha tersenyum, meski Leon tak bisa melihatnya. "Aku ... Aku cuma sedikit capek hari ini. Tapi gausah khawatir, aku lagi siap-siap kok."

"O ... oke kalau begitu ..." Tutur Leon terdengar ragu. "Aku cuma mau bilang maaf sekali lagi. Aku ga bisa jemput, kamu gapapa kan?" Ujarnya diliputi rasa bersalah.

"Ya ampun ... kamu udah bilang itu dari sore. Gapapa Leon, aku gapapa ..."

Mereka mengakhiri percakapan singkat itu, dan Sena kembali duduk di tepi tempat tidurnya. Ia menatap gaun hitam yang tergantung di depan cermin, lalu menghela napas panjang.

𝐏𝐑𝐎𝐋𝐎𝐆𝐔𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang