30. Chip 02.04-03.02

Mulai dari awal
                                    

Sosok tersebut menghentikan langkahnya dengan memberi aba-aba kepada pasukannya yang di belakang, lalu, melangkah maju ke arah Himel sambil menyerahkan koper tersebut.

"Sesuai perintah, Prof! Kami telah mengambil lima dengan dosis sesuai permintaan," ujarnya sambil melepaskan kacamata hitamnya—yang sebelumnya bertengger, menutupi kedua matanya.

Java, Veiga, Hakim serta Kayshaka terbelalak kaget. Detak jantung mereka serasa terhenti seperkian detik, ketika melihat siapa sosok di balik kacamata hitam tersebut. Hakim, Veiga maupun Kayshaka sontak menoleh ke arah Java yang kini tengah termenung di tempatnya.

Sulit rasanya bagi Java untuk mengucapkan sepatah kalimat, nafasnya seakan tercekat di kerongkongan dan lidahnya begitu kelu untuk berbicara. Ia mencoba menahan gejolak yang ada dalam tubuhnya. Namun, nihil. Usahanya sia-sia, ia dapat berbicara walau dengan nada yang begitu pelan.

"Vader ..."
(Ayah ...)

Sosok tersebut menoleh, menatap Java dengan tatapan meremehkan. Ia kemudian berjalan mendekat ke arah Java lalu, terhenti dengan jarak 2 meter di depan Java.

Sosok yang disebut 'ayah' oleh Java itupun membungkukkan tubuhnya perlahan, mencoba menyejajarkan tingginya dengan Java–yang sedang duduk tersebut.

Seringai mengejek terukir pada pahatan wajah yang tampan nan menawan tersebut lantas, ia pun berkata, "Halo anak Eãstern, tidak saya sangka sudah sebesar ini. Hahaha. Tapi, jauh dari ekspektasi saya. Saya kira ia akan kuat, ternyata ... Lemah, sama saja seperti Eãstern."

Mendengar marganya disebut tersebut pun seketika membuat Java kembali mengepalkan tangannya diam-diam, rahangnya yang tegas membuat teman-temannya yang melihat dari samping menjadi was-was.

Namun, detik berikutnya, pria itu memberi isyarat dengan jari kepada anak buahnya, yang segera mengeluarkan beberapa alat aneh dari koper hitam yang dibawa masuk sebelumnya.

"Siapkan mereka," perintah pria itu tanpa emosi, menatap Java, Veiga, Hakim, dan Kayshaka dengan pandangan kosong seolah mereka hanyalah benda mati.

"Tanamkan chip pada leher belakang mereka. Pastikan mereka tak akan bisa melawan. Ini hanya soal waktu sampai mereka menjadi bagian dari sistem kita," seru Professor Himel dengan semangat menggebu-gebu sambil mengetikkan beberapa kata pada tablet yang kini berada dalam genggamannya.

Para petugas kekar tersebut mendekat ke empat sosok yang masih terikat di kursi masing-masing. Mereka mengeluarkan peralatan berbentuk kecil dan tajam, terlihat seperti suntikan dengan ujung logam bersinar-chip yang akan dimasukkan ke dalam tubuh mereka.

Veiga mencoba memberontak. Akan tetapi, ikatan di tangannya terlalu kuat. Hakim menggeram, tatapan matanya penuh kebencian, sementara Kayshaka menundukkan kepala, mencoba menenangkan dirinya dan menahan panas yang kian lama kian menjalar ke seluruh tubuhnya.

Java, yang sejak tadi diam, tiba-tiba menatap sosok tersebut yang ternyata adalah kembaran sang ayah alias paman Northern, dengan tatapan penuh dendam, "Apapun yang anda lakukan, saya tidak akan pernah jadi seperti anda! Saya lebih baik mati daripada jadi boneka sistem yang anda ciptakan, om North."

Sang paman hanya tersenyum sinis mendengar perlawanan dari ponakannya, lalu, melangkah mundur, memberi ruang kepada petugasnya untuk mulai mengeksekusi tugas mereka. Saat jarum itu hampir menyentuh kulit Java, tiba-tiba terdengar suara keras dari atas plafon. Namun, mereka mengabaikannya.

"Bersiap!" sebuah suara wanita yang familiar bergema, lalu, mendadak plafon di atas mereka terbuka lebar, serpihan runtuhan jatuh ke lantai bersamaan dengan dua sosok yang melompat turun dengan gesit. Mereka adalah Zivanka dan Rey!

Keduanya mendarat dengan mantap, Zivanka langsung mengarahkan senjatanya ke arah petugas-petugas berbadan kekar, sementara Rey berdiri melindungi Java dan teman-temannya. Tatapan Zivanka tajam, penuh determinasi, mengancam siapa saja yang berani mendekat.

Professor Himel menatap kejadian ini dengan tatapan kaget yang berubah menjadi marah. "Rey! Apa yang kau lakukan di sini?!"

Zivanka tak mengindahkan pertanyaan itu dan terus berjalan mendekat ke arah sosok berbadan kekar yang mengelilingi teman-temannya. "Kami di sini untuk membawa mereka pulang. Kalian tak akan bisa menyentuh mereka lagi."

Rey tersenyum tipis ke arah Himel dan berkata, "Teruskan permainanmu, Professor. Tapi ingat, kali ini kami tidak akan tinggal diam."

"Jangan kira ini berakhir di sini!" ancam Himel, suaranya bergema di seluruh ruangan.

Tanpa membuang waktu, Zivanka menembakkan senjata ke arah alat-alat medis yang berfungsi sebagai pengekang, melepaskan ikatan yang menahan Veiga, Hakim, dan Kayshaka. Mereka segera bangkit, meski tubuh mereka masih sedikit lemah. Java sempat menoleh, menatap ayahnya untuk terakhir kali sebelum bergerak cepat mengikuti Zivanka dan Rey menuju jalan keluar.

Sementara, Xey dan Zey hanya terdiam kaku di tempat ketika melihat kakak tertuanya sempat menatap mereka dengan tatapan murka sekaligus kekecewaan.

"Tunggu aku ... Aku akan segera menyusul."

Selasa 5 November 2024Tertanda: Khumachan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selasa 5 November 2024
Tertanda: Khumachan

Fivers Eternity Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang