16. War and Hades

Mulai dari awal
                                    

Gibson menatap ke sekitarnya yang sudah benar-benar di buat porak-poranda. Sebagian besar pasukannya tergeletak tak sadarkan diri, beberapa yang masih hidup tampak meraung kesakitan menunggu ajal menjemput.

Rahangnya mengeras, melihat itu semua. Gibson tidak bisa membuat pasukannya untuk mundur lagi kali ini, pemberontak-pemberontak itu bisa saja membuat Barat rata dengan tanah.

Terlalu fokus memikirkan setiap langkah yang harus Ia ambil membuat Gibson lengah, sesuatu dihantamkan dengan keras pada tengkuknya dari belakang.

Telinganya berdenging keras. Gibson merasakan pusing luar biasa di kepalanya, pandangan di sekelilingnya mulai mengabur.

Ia meraba tengkuk nya yang terasa basah, Gibson bisa melihat darah nya sendiri yang ada pada telapak tangannya.

Mengepalkan tangannya erat, tanpa menghiraukan rasa sakit di kepalanya Gibson kembali mengayunkan pedangnya.

Dalam situasi yang benar-benar kacau balau, Gibson terpaku pada satu titik. Sepasang iris kelamnya menangkap banyaknya pasukan dengan lambang Keluarga Hades, menyergap dan membantu pasukannya yang hampir dilumpuhkan.

Kini, pasukannya yang semula terdesak berhasil membalikkan kondisi dengan cepat.

Sosok Pria dengan surai hitam dan sepasang iris amber nya yang khas, terlihat. memimpin pasukannya, Issac Matteo De Hades.

"Kenapa dia bisa ada di sini?"

Kemenangan telak di dapatkan mereka, para pemberontak yang merupakan sekutu dari Virlaines itu binasa, tidak lagi bersisa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kemenangan telak di dapatkan mereka, para pemberontak yang merupakan sekutu dari Virlaines itu binasa, tidak lagi bersisa.

Dengan cedera serius, Gibson dan pasukannya yang tersisa menuju Tenda-tenda yang telah didirikan untuk beristirahat.

Dapat Ia lihat, Issac yang sudah duduk santai bersama seorang Gadis yang membelakanginya.

Gibson mengabaikan itu, dengan tertatih Ia berusaha untuk duduk di salah satu kursi yang tersedia. Meringis kecil, Gibson memejamkan mata, memegangi kepalanya yang semakin berdenyut dan terasa berat.

Sesuatu dengan lembut menyentuh kepalanya, membawa kehangatan yang membuat rasa pusing nya berangsur-angsur membaik. Gibson membuka matanya perlahan, sepasang iris hijau yang selama ini Ia rindukan hadir menyapa indera penglihatannya.

"Marie?" Gadis itu tersenyum, mengusap lembut wajah Gibson yang dipenuhi luka goresan dan debu.

Gibson memejamkan matanya, merasa nyaman. Ia berpikir kalau ini adalah mimpinya, karena akhir-akhir ini Gibson terus saja memimpikan Istri Kecilnya yang sudah lama tidak dia lihat.

Entah kenapa, empat hari tanpa Marie menjadi terasa sangat lama.

"Nona Marie, bisa kita lanjutkan obrolan kita?" Suara Issac membuat kelopak matanya terbuka lebar-lebar.

Gibson kini dapat melihat dengan jelas, Marie yang tengah tersenyum pada Issac dan berniat meninggalkannya. Dengan cepat, Gibson menahan pergelangan tangannya.

"Ah, Suami. Kau sudah merasa baikan?" Tanya Marie, dengan lembut membalas genggaman Gibson.

"Kenapa kau bisa ada sini?" Gibson melirik Issac sekilas. "Dengannya?"

Marie menggaruk pipinya kikuk, mendapatkan pertanyaan bernada interogasi dari Gibson. "Emm, panjang ceritanya."

Gibson menatapnya tajam. "Aku tidak perduli. Jelaskan."

Marie menghela nafas. "Singkatnya, aku meminta bantuan dari Tuan Marquess Issac untuk mengirimkan bantuan pasukan kemari." Jawabnya.

"Jendral, baru kali ini kau bertindak ceroboh." Ujar Isaac menyela. Pria itu sudah duduk kembali di kursinya, membaca buku bersampul hitam yang selalu Ia bawa kemana-mana.

Gibson meliriknya sinis, bak memiliki dendam tersendiri pada Pria itu.

Mengabaikan keberadaan Issac, Ia kembali menatap Marie. "Kau datang kemari menggunakan apa?"

"Aku--"

"Nona Marie datang bersamaku. Kau tidak perlu khawatir, Gibson." Issac kembali menyela.

"Bisakah kau diam?! Aku tidak berbicara dengan mu, sialan."

Marie hanya dapat diam di tempatnya. Sudah bukan rahasia umum jika Issac dan Gibson bermusuhan. Mereka sudah menjadi rival sejak mereka masih di Akademi.

Marie tidak pernah tahu alasannya, tapi yang pernah Ia dengar. Dulunya mereka sangat dekat dan selalu terlihat bersama di setiap kondisi.

Issac tertawa pelan di tempatnya, menutup buku yang Ia baca. "Hei, Jendral. Kau masih saja menyebalkan ya."

"Nona, aku akan menagih janji mu lain kali." Ujar Issac, melenggang pergi keluar dari Tenda itu.

Marie diam-diam meringis, kenapa Issac sengaja sekali mengucapkan nya di depan Gibson.

Marie menoleh perlahan, didapati nya Gibson yang sudah melipat tangannya didepan dada. "Apa yang kau janjikan pada Keparat itu?" 

Marie terbatuk pelan, terkejut mendengar umpatan terang-terangan dari Gibson yang ditunjukkan pada Issac.

"Aku.." Marie menelan saliva, gugup. "Aku akan memberikan rekomendasi buku-buku romansa yang baru ku baca. "

Gibson mengerutkan kening, sudah tidak heran lagi kalau Issac adalah seorang maniak buku-buku romansa, yang kebanyakan memiliki unsur dewasa di dalamnya.

Yang membuat Gibson bingung, Marie juga membaca buku semacam itu, tapi sejak kapan. "Kau juga membaca buku seperti itu?" 

Marie merona, malu. Jari-jarinya saling bertaut. "Kau kira, aku tau darimana teknik berciuman dengan handal kalau bukan dari buku-buku itu."

Wajah Gibson turut memerah ketika berhasil mencerna perkataan Marie. Mengusap kasar rambutnya, tidak habis pikir.

"Kau.." Gibson menatapnya tajam.

"Apa?!"

"Seharusnya biarkan aku saja yang mempelajarinya."























A VILLAIN'S SECRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang