29. Dosa

41 2 0
                                    

Taman belakang rumah itu masih dipenuhi keheningan yang berat. Semua perhatian kini tertuju pada Esa, tetapi kali ini sorot mata perlahan beralih ke Ganindra, pria yang selama ini selalu berada di sekitar mereka tanpa pernah ada yang tahu betapa besarnya peran yang ia mainkan.

Damar menatap Ganindra tanpa berkedip. Pikirannya kacau. Sejak kecil, Ganindra bukanlah seseorang yang menonjol, tetapi entah kenapa, dia selalu tahu banyak hal. Sekarang semuanya masuk akal.

Chelsie menunduk, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Pikirannya berusaha menyusun ulang semua yang baru saja ia dengar. Kakaknya sendiri... Diki... adalah seorang monster.

Esa menarik napas panjang, lalu mulai berbicara. Ia menceritakan bagaimana Ganindra sudah mengawasi Diki selama ini, bagaimana ia tahu sisi gelap pria itu bahkan sebelum semuanya terungkap.

Damar semakin merasa sesak. Diki, yang sejak SD adalah teman sepermainannya, ternyata seorang bajingan besar. Damar tahu Diki punya obsesi aneh terhadap perempuan, tapi dulu dia hanya menganggapnya sebagai lelucon anak muda yang terlalu banyak gaya.

Ternyata tidak.

Ternyata semua itu nyata.

Damar mengepalkan tangannya. Semua potongan yang selama ini tidak ia pedulikan kini mulai menyatu.

"Diki sudah seperti itu sejak kecil," suara Ganindra terdengar tenang, tetapi dingin. "Dia selalu menganggap perempuan sebagai objek. Dan dia menyukai kekuasaan. Dia menikmati ketika seseorang takut padanya."

Damar merasakan tubuhnya menegang. Berapa kali Diki mengajaknya pergi ke tempat-tempat yang mencurigakan? Berapa kali Diki berusaha menyeretnya ke dalam kebiasaannya yang menjijikkan?

Damar memang merokok dengan Diki, pernah mabuk beberapa kali dengannya. Tapi dia tidak pernah ikut dalam obsesi Diki terhadap perempuan. Dia selalu menghindar.

Tapi tetap saja...

Dia terlalu buta untuk melihat betapa rusaknya Diki.

Chelsie masih tidak berbicara. Wajahnya pucat, dan napasnya pendek-pendek. Rosandy menatapnya lama, sorot matanya tajam, tetapi kali ini bukan tatapan penuh kebencian. Ada sesuatu yang lain.

Damar tahu itu.

Itu rasa prihatin.

Rosandy... ayahnya... merasa iba pada Chelsie, yang harus menanggung kenyataan bahwa kakaknya sendiri adalah seorang monster.

Ayu mengusap tangan Rosandy pelan, seolah meminta suaminya menahan emosinya.

Damar melirik Chelsie lagi.

Gadis itu masih menunduk, tangannya mengepal di pangkuannya.

Damar ingin melakukan sesuatu, ingin menenangkan Chelsie. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Dia... dia juga bagian dari masa lalunya. Dia juga bagian dari luka itu.

Damar merasakan rasa bersalah itu semakin menyesakkan dadanya.

Dia pernah bersahabat dengan Diki.

Dia pernah percaya pada Diki.

Dan dia, dengan tangannya sendiri, menghancurkan Chelsie.

Damar menggigit bibirnya, menahan diri agar tidak mengatakan sesuatu yang bodoh.

Chelsie akhirnya mengangkat kepalanya, tetapi sorot matanya kosong. Dia menatap Esa, lalu Ganindra, sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke tanah.

Damar tidak tahan lagi.

Dia ingin menarik Chelsie ke dalam pelukannya, ingin meminta maaf untuk kesekian kalinya. Tapi dia tahu...

Dia tahu permintaan maafnya tidak akan pernah cukup.

Damar menundukkan kepala. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya.

Sial.

Sial.

Damar benci ini.

Damar benci melihat Chelsie seperti ini.

Damar melirik ke arah Rosandy, lalu ke Ayu.

Mereka juga menatap Chelsie, tetapi tidak mengatakan apa pun.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Damar tidak tahu harus berbuat apa.

Dan itu...

Itu menyakitkan.

Maaf (Sequel Off T.A.A.O) | SELESAI REVISIWhere stories live. Discover now